HAM Dalam Perspektif Islam


Pendahuluan
Agama dan HAM adalah isu yang sering kali dianggap bertentangan. Agama yang dianggap begitu mengikat, berbanding terbalik dengan HAM yang dinilai membebaskan keinginan manusia. Islam dengan syari’ahnya dianggap menghambat ummatnya dalam menjalankan Hak Asasi yang mereka miliki, benarkah demikian adanya? Seperti anggapan yang kerap Barat layangkan pada Islam, Islam dianggap melakukan kejahatan HAM pada ummatnya. Dalam kesempatan ini akan dibicarakan topic mengenai HAM dalam Islam, khususnya ke-Tuhanan dan HAM. Adakah relasi antara Allah SWT dengan HAM yang dimiliki manusia? Inilah yang akan menjadi poin utama pembicaraan dalam tulisan ini.
Makna Hak Asasi Manusia
Manusia dan Hak Asasinya tidak dapat dipisahkan, kemunculan HAM itu sendiri sudah dapat dipastikan sebagai suatu keniscayaan yang muncul sejak keberadaan manusia sendiri. Adam sebagai manusia pertama, oleh sebab itu HAM sudah ada sejak keberadaannya di muka bumi. Islam sebagai agama yang paling akhir muncul dinilai tidak memadai dalam memberikan ketetapan undang-undang akan HAM itu sendiri, apakah hal ini dapat dibenarkan?
Jika kita melihat pada kenyataan sejarah agama samawi, akan kita dapati beberapa peristiwa penting di dalamnya. Sejak awal mula penciptaan Adam, Allah SWT sudah memberikan perintah pada dua makhluk yang paling utama sebelum manusia untuk bersujud pada Adam. Atas pembangkangan yang dilakukan Iblis dari golongan Jin, dinilai sebagai satu tindak kejahatan pada masa itu. Apakah Allah SWT menghilangkan Hak Asasi yang Iblis miliki, dengan memaksanya sujud kepada Adam? Kejadian ke-dua terjadi ketika Adam melanggar perintah Allah SWT untuk tidak memakan buah Khuldi. Apakah Allah SWT telah menghilangkan Hak Asasi bagi Adam untuk memakan buah Khuldi? Kejadian ke-tiga terjadi ketika Adam hendak mengawinkan ke-empat anaknya.Ketika anak Adam beranjak dewasa, kemudian Allah SWT memerintahkan Adam untuk mengawinkan keempat anaknya berdasarkan pasangan yang telah ditentukan, apakah Adam telah menghilangkan Hak Asasi anaknya sendiri untuk memilih? Berbekal pada ke-tiga kasus inilah akan kita berikan pembahasan lanjut mengenai posisi Hak Asasi dalam kehidupan manusia nantinya.
Di era modern ini, banyak sekali kita temui berbagai isu terkait permasalahan HAM sendiri. Namun hal yang harus kita pertimbangkan di sini pertama-tama adalah makna dari Hak Asasi tersebut. Sebagian besar aktifis HAM dewasa ini begitu gigih dalam menyuarakan HAM sebagai suatu bentuk kebebasan, dapatkah kita terima adanya kebebasan sebagai suatu makna yang mewakili HAM? Setiap orang memiliki HAM-nya masing-masing, sedemikian besar peran HAM dalam dirinya sehingga tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri HAk yang dimilikinya. Namun permasalahan akan muncul ketika Hak Asasi seseorang bersinggungan bahkan menerobos Hak Asasi yang dimiliki orang lain. Jika saja Hak Asasi diartikan sebagai suatu bentuk kebebasan, maka sudah sepatutnya bagi setiap orang memiliki Hak yang tak terbatas. Namun pada kenyataannya, tidak akan dapat kita temui suatu Hak yang tak terbatas hingga tidak ada seorang-pun yang berhak mencampurinya. Setiap Hak seseorang, senantiasa berbatasan dengan Hak orang lain, maka dari itu kebebasan dinilai tidak mencukupi untuk mewakili Hak Asasi dalam pemaknaan.
Dari ke-tiga kasus yang kita temui dalam penciptaan manusia pertama sudah dapat kita lihat bahwa kebebasan bukanlah kata yang tepat untuk mewakili Hak asasi yang tidak hanya ada pada manusia, melainkan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah SWT. Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam, atas ketinggian yang dimiliki-Nya inilah maka tidak akan dimungkinkan segala bentuk kesalahan bagi-Nya. Jika kita lihat dari ke-tiga contoh di atas, pantaskah Allah SWT dengan ke-egoisan-Nya melakukan berbagai perintah yang memaksa ciptaan-Nya? Dalam Islam, Perintah dan Kehendak yang Allah SWT miliki adalah sepenuhnya kebaikan bagi setiap ciptaan-Nya, sedemikian baiknya sehingga setiap makhluk harus mematuhi-Nya. Bukan dalam artian memaksa, melainkan untuk mempertahankan Kebijaksanaan yang dimiliki-Nya. Dia Mengetahui apa yang tidak kita ketahui, oleh karenanya kita sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan, sudah sepatutnya untuk mematuhi Perintah-Nya.
Setiap kelahiran seorang bayi, Allah SWT sesungguhnya telah membekalinya dengan Hak yang sama sebagaimana manusia lainnya. Ia memiliki indera, akal, hati, serta segala kelengkapan yang dimiliki manusia lainnya. Bahkan tidak hanya manusia, makhluk lain pun juga menerima hal yang sama sebagaimana kelengkapan yang telah ditentukan-Nya. Adapun cacat atau kelainan, bukanlah suatu hal yang Allah SWT kehendaki, karena Allah SWT sesungguhnya menciptakan dalam kebaikan dan yang membuat buruk suatu keadaan adalah akibat dari tindakan manusia itu sendiri yang tanpa dia sadari akibatnya. Dari sini kita dapati bahwasannya Allah SWT dengan begitu Maha Adil-Nya telah menciptakan suatu system yang begitu sempurna dalam kehidupan ini. Demikian pula dengan Hak Asasi yang kita miliki itu bukanlah suatu hal yang ada karena kita, melainkan suatu anugerah yang Allah SWT berikan kepada kita, untuk saling memahami antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, makna yang paling pantas kita berikan pada Hak Asasi bukanlah kebebasan, melainkan suatu system keserasian yang menjaga hubungan kita dengan Allah SWT, sesama, dan alam.
Sebagaimana yang telah dibicarakan di atas, Hak Asasi adalah suatu bagian dari diri kita yang sudah ada sejak kita lahir. Namun agaknya Hak Asasi ini baru berlaku ketika manusia berinteraksi dalam kehidupannya dengan manusia lain. Agar terciptanya suatu system harmoni, maka yang perlu diperhatikan adalah perasaan. Sedemikian tingginya intelektual yang manusia miliki, hubungan yang harmonis antar sesama tidak akan pernah terbentuk selama manusia tidak menggunakan hati dan perasaanya. Bukankah telah kita rasakan adanya ego yang merusak hubungan kita dengan orang lain? Oleh sebab itu sudah dapat dipastikan bahwa Hak Asasi produk bentukan negara barat yang menunjukkan karakter egoistis tidak akan pernah berhasil dalam mewujudkan perdamaian dunia. Karena suatu perdamaian akan terwujud ketika kita mau memahami, bukanlah ketika kita ingin dipahami oleh masing-masing individu.
Kemunculan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia muncul dari bentuk kesadaran tiap individu pada individu lainnya. Allah SWT memberikan kita hati sebagai alat untuk merasakan apa yang dirasakan oleh sesame, inilah satu upaya bijak Allah SWT untuk membentuk kesadaran bagi tiap individu. Tanpa adanya hati dan rasa, maka dapat kita pastikan hingga saat ini tidak akan ada seorangpun yang mampu menyadari akan hal ini. Bahkan seorang yang memiliki nalar cukup tinggi sekalipun tidak akan dapat menyadari realitas akan Hak Asasi, karena Hak seseorang hanya dapat dirasakan dan bukan untuk dirasionalkan dalam suatu susunan yang sistematis.
Dari sini sudah dapat kita pastikan bahwa Hak Asasi itu ada dikarenakan adanya pemberian Allah SWT kepada kita. Namun tidak hanya berhenti di sini saja, karena Hak Asasi tidak akan cukup dengan potensi yang Allah SWT berikan, melainkan harus adanya upaya respon atas potensi tersebut. Respon inilah yang akhirnya menghasilkan kesadaran dalam diri kita, dan kita ungkapkan pada orang lain yang dirasakan oleh mereka. Perasaan yang sama inilah yang kemudian muncul dalam suatu formula yang disepakati dalam konsep Hak Asasi Manusia. Inilah yang pada tahap selanjutnya menjadi undang-undang public yang mengatur ruang gerak HAM bagi masing-masing individu. Dari sini dapat dipastikan bahwa HAM bukanlah suatu bentuk kebebasan yang tak terbatas.
Di manakah Hak Asasi Manusia Berlaku?
Manusia adalah makhluk social, oleh karenanya Hak Asasi yang dimilikinya senantiasa bergantung pada kondisi social masyarakat yang berlaku. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa masing-masing individu memiliki Hak Asasi yang berbatasan dengan individu lainnya. Di sinilah peran Hak Asasi Manusia berjalan, dengan adanya kesepakatan atau satu system social tersebut maka tiap-tiap individu berhati-hati dalam menjalankan Haknya masing-masing. Namun jika Hak tiap individu ini tidak diformulasikan dalam suatu undang-undang, maka akan terjadi kekacauan. Hal ini bukan dikarenakan adanya paksaan dalam HAM, melainkan adanya upaya sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan Haknya dalam masyarakat. Untuk menghindari upaya kejahatan dalam HAM inilah, perlu diadakan formulasi undang-undang HAM.
Dari pernyataan di atas sudah dapat kita pastikan bahwa HAM itu ada ketika kita berinteraksi dengan individu lainnya. Tetapi ketika kita berhadapan dengan Allah SWT, adakah lagi tuntutan atas HAM bagi diri kita? HAM adalah anugerah dari-Nya, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk tidak mencampurkan urusan kemanusiaan dengan urusan yang begitu pribadi. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya adalah permasalahan yang begitu sensitive, tidak ada seorangpun yang berhak mencampurinya, namun tentu saja ini berlaku ketika individu tersebut tidak bersinggungan dengan kepentingan individu lainnya. Satu hal yang perlu kita pahami dalam hal ini bahwa HAM hanya berlaku ketika kita berada dalam ruang public masyarakat, namun ketika kita berhubungan dengan Allah SWT, maka tidak ada lagi yang kita sebut sebagai HAM, karena allah SWT tidak akan pernah melakukan kesalahan pada diri kita, justru kita yang kerap kali melakukan kesalahan kepada-Nya.
Piagam Madinah dan Risalah al Huquq dalam menanggapi HAM
Piagam Madinah dan Risalah al Huquq adalah beberapa bukti bahwa Islam juga memiliki tanggapan yang begitu besar dalam permasalahan HAM. Maka dalam kesempatan ini akan dibicarakan isu penting terkait pembicaraan ini yang ada dalam keduanya. Kita mulai pembicaraan ini dengan menelaah isi pasal 1 Piagam Madinah, “Sesungguhnya mereka satu bangsa dan negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.” Sebagaimana yang telah kita lihat, bahwa ciri utama dari HAM dalam Islam bahwa pengaruh Ideologi yang begitu kuat adalah dasar utama bagi setiap aspek kehidupan manusia, dalam hal ini yakni iman pada Allah SWT, bukan berdasarkan kekuasaan manusia. Maka dari itu kita tidak akan pernah mendapati tatanan masyarakat yang Rasulullah SAW buat, berdasarkan pada bentuk kerajaan atau kekhalifahan. Rasul SAW juga tidak pernah menyebut dirinya sebagai seorang khalifah ataupun raja.
Sedangkan dalam Risalah al Huquq, yang menjadi poin utama atas susunan Hak yang ada adalah “Hak Allah”, yang berbunyi:
Adapun memenuhi hal Allah yang terbesar atasmu adalah dengan mengabdi (beribadah) kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Jika kau kerjakan itu dengan tulus ikhlas, Ia pun akan mewajibkan atas diri-Nya menyelesaikan segala urusan dunia dan akhiratmu dan menjaga segala yang kau sukai dari keduanya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Hak Asasi yang kita miliki adalah kesadaran kita atas potensi yang Allah SWT karuniakan pada kita. Dan sebagai bentuk rasa syukur kita melalui ibadah kepada-Nya. Dari kedua poin di atas dapat kita lihat, bahwa hokum HAM dalam Islam berlandaskan pada asas ke-Tuhanan. Landasan utama yang diyakini dalam Islam adalah, manusia tiada memiliki daya apapun, dan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang memberikan daya, upaya, kehendak, serta kebebasan. Oleh karena itu, walaupun manusia memiliki kebebasan dan kehendak, tetap saja itu semua pemberian dari Allah SWT. Manusia diberi Hak hanya untuk memanfaatkan segala pemberian yang Allah SWT karuniakan pada kita, hanya untuk kebaikan.
Kesimpulan
Hak Asasi yang disebutkan dalam poin-poin universal Barat seakan-akan terkemas apik sebagaimana halnya yang tertera dalam Deklarasi Universal. Namun, kita harus melakukan telaah lebih lanjut atas apa yang ada di dalam Islam. Islam tidaklah miskin, melainkan kaya. Bahkan sebelum dunia menemukan Deklarasi Universal, Islam sudah memberikan dua system undang-undang HAM. Namun yang perlu kita sikapi di sini adalah; Hak Asasi bukanlah suatu bentuk kebebasan, melainkan suatu bentuk kesadaran untuk merasakan apa yang orang lain inginkan, yang terwujud dalam suatu system harmoni yang menjaga keselarasan tersebut. Hak Asasi adalah karunia Allah SWT, yang berlaku untuk sesama manusia. Ke-Tuhanan adalah landasan utama HAM dalam Islam.
REFERENSI
Al- Baqir, Muhammad. Ulama, Sufi, dan Pemimpin Umat: Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin, Cucu Rasulullah. Mizan. Bandung: 1993.
Piagam Madinah

Read For Complete Post...

Penciptaan Alam Semesta dan Kesadaran Agama


Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi. Bagaimana tidak, klaim itu muncul tidaklah semata-mata tanpa sebab. Akal adalah salah satu anugerah yang begitu besar yang diperoleh manusia. Dengan akal manusia dapat memikirkan serta memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. Namun tidak cukup hanya akal, Sang Pencipta menilai bahwa manusia memerlukan agama sebagai bimbingan hidup manusia. Manusia juga hidup di alam, dari sinilah dapat ditelaah sistematika yang ada dalam alam. Adakah hubungan antara alam ini dengan Tuhan dan agama? Sebagian golongan saintis meyakini bahwa proses terciptanya alam semesta ini tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan, dan nantinya akan kita bahas lebih dalam dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan kita telaah lebih dalam perihal alam, penciptaan, Tuhan, dan agama.
Teori Big Bang dan Awal Mula Penciptaan
Begitu banyak pendapat yang ada terkait alam semesta, bahkan sejak masa Ptolomeus hingga sekarang. Pada masa Yunani kuno manusia meyakini bahwa alam semesta ini relatif kecil dan sempit, bahkan bumi sendiri ditopang oleh Atlas sang dewa raksasa yang menopang bumi. Pendapat ini bertahan begitu lama, bahkan hingga masa gereja yang akhirnya ditentang oleh Galileo hingga mengorbankan dirinya. Doktrin alkitab yang diyakini gereja menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta hanya memakan waktu enam hari, dan bumi sebagai pusatnya. Doktrin inilah yang ditentang Galileo berdasarkan penelitian yang ia lakukan, namun konsekwensi pendapat inilah yang menghantarkannya pada akhir hidupnya. Seiring waktu dan hasil temuan-temuan baru lainnya, menhantarkan manusia pada keluasan alam semesta yang begitu luas bahkan tak terhingga. Isu-isu baru inilah yang menghantarkan kita pada teori-teori baru kosmologi, yang tak terelakkan lagi menghasilkan persinggungan antara sains dan agama.
Kesadaran akan ruang alam semesta yang begitu besar mulai terbentuk pada abad 20-an, Albert Einstein disebut-sebut sebagai tokoh utama pembentuk anggapan ini. Melalui teori Relativitas yang Einstein kemukakan yakni alam semesta ini melengkung dan terbentuk dari suatu ledakan maha dahsyat sekitar lima belas milyar tahun silam, dan akibat dari ledakan ini terdapat sisa pijaran kosmis yang melalui proses kondensasi berbarengan kelengkungan alam semesta yang terus mengembang. Pendapat ini diamini oleh sebagian astronom kawakan lainnya, dimulai dari Willem de Sitter (1917), kemudian Edwin Hubble (1929) yang membuktikan spektra pergerakan antar galaksi dari bumi dengan sebutan red shift. Kemudian pada 1965, Arno Penzias dan Robert Wilson dengan gelombang mikronya, mereka berdua adalah saintis yang pertama kali berhasil mendeteksi sisa-sisa ledakan big bang lima belas milyar tahun silam. Secara tidak sengaja mereka berdua berhasil merekam gelombang mikro yang begitu lemah dan gelombang ini ternyata ada di segala penjuru angkasa, setelah melewati proses penelitian lanjut gelombang ini diyakini sebagai sisa radiasi ledakan lima belas milyar tahun silam.
Ada empat gaya dasar fisika terkait proses ledakan tersebut yang diyakini para fisikawan, yakni; 1. Gaya elektromagnetik yang mengendalikan perilaku cahaya dan partikel bermuatan, 2. Gaya nuklir lemah yang mengendalikan peluruhan radioaktif, 3. Gaya nuklir kuat yang mengikat proton dan neutron di dalam inti atom, dan 4. Gaya gravitasi yang bekerja antarmassa dari suatu jarak.
Dari empat teori inilah para saintis berpendapat adanya teori-teori mendasar sebagai sebab penciptaan bahkan menjaga sistem harmoninya hingga saat ini. Pada 1967, Steven Weinberg dan Abdus Salam berhasil menemukan terobosan baru terkait teori penciptaan ini, mereka berdua berhasil mengawinkan teori pertama dan ke-dua. Dengan perkembangan penemuan penelitian inilah kemudian para saintis lainnya berusaha untuk menemukan sebuah teori dasar penciptaan untuk memadatkan ke-empat teori tersebut, dan teori ini disebut sebagai Grand Unified Theory. Para saintis meyakini, jika teori tersebut berhasil ditemukan maka manusia telah berhasil menguak teori utama penciptaan yang Tuhan gunakan selama ini dalam proses penciptaan.
Berangkat dari rasa ingin tahu para ilmuwan, menghasilkan rumusan-rumusan tertentu terkait penciptaan. Ketika isu-isu astronomi berkembang menjadi isu-isu penciptaan inilah yang mengusik keengganan para teolog dan agamawan untuk masuk dalam kajian sains. Rasa ingin tahu para ilmuwan yang mendasari mereka untuk melakukan berbagai proses penelitian lanjut, secara tidak sengaja menghantarkan mereka pada laboratorium ke-Tuhanan di mana Tuhan biasa mencipta. Di sisi lain di luar laboratorium ke-Tuhanan tersebut telah siap para penjaga Tuhan yang begitu taat bernama teolog dan siap berhadapan dengan para ilmuwan yang siap mendobrak pintu laboratorium. Maka, pada saat inilah sains harus berhadapan dengan agama.
Persinggungan antara saintis dan teolog ini mengakibatkan perbenturan sengit antara ke-duanya, khususnya dalam dunia barat yang pada umumnya menganut keyakinan materialis-ateistik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert Jastrow bahwa “bukti astronomis mengarah ke pandangan biblikal tentang asal-usul alam semesta.” Para saintis menjadi alergi ketika teori ilmiah sains berubah menjadi doktrin ortodoks, begitu pula para teolog yang tidak ingin kesucian Tuhan-nya harus diuji coba dalam suatu bentuk rumusan ilmiah matematis. Oleh sebab itu dirasa perlu bagi kita untuk menyinggung empat pandangan dasar antara sains dan agama dalam merespons teori-teori kosmologi mutakhir.
Alam Tercipta Secara Kebetulan
Steady-state Theory adalah landasan utama bagi anggapan ini, sebagaimana yang umumnya diungkapkan para ilmuwan ateis, dan Fred Hoyle merupakan salah satu pencetusnya. Teori tersebut berusaha mengungkapkan bahwa, atom hidrogen akan terbentuk, secara lambat dan terus-menerus, di seluruh ruang dan dalam waktu yang tak terbatas. Atom hidrogen sebagai air, telah diyakini oleh sebagian besar para ilmuwan bahkan teolog sebagai zat dasar suatu kehidupan. Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam teori tersebut, air akan terbentuk pada waktu yang tak terbatas, artinya tiada suatu awal untuk terbentuknya air. Tanpa adanya suatu awalan maka tidak dibutuhkan lagi suatu penciptaan, sebuah teori yang begitu cantik yang digunakan para ateis untuk menafikkan keberadaan sang Pencipta. Anggapan yang demikian ini pula yang sering dihindari para kosmolog untuk mengidentifikasi penciptaan pada suatu keadaan waktu yang tak terbatas.
Berdasarkan temuan dalam Teori Big Bang, bentuk teori di atas sudah tidak dapat lagi dipercaya. Ada beberapa temuan keadaan yang dapat kita gunakan untuk membantah teori di atas, jika saja temperatur, laju, dan waktu ledakan yang terjadi lima belas milyar tahun silam sedikit saja lebih kecil atau lebih besar, maka tidak akan terbentuk kehidupan. Kita telah mengetahui, betapa rentannya kondisi fisik organisme yang ada di muka bumi ini, jika suhu di bumi lebih panas, manusia tidak akan mampu hidup, dan jika lebih dingin tidak akan mampu pula manusia bertahan hidup. Bentuk ketepatan takaran yang begitu teliti inilah yang seharusnya kita teliti lebih lanjut, apakah mungkin perencanaan yang begitu matang ini ada secara kebetulan? Hukum rasional sendiri akan menjawab bahwa segala bentuk keteraturan akan senantiasa membutuhkan pengatur, inilah yang kita sebut sebagai Tuhan.
Makna Penciptaan Dalam Agama
Alam semesta Tuhan ciptakan dalam kurun waktu enam hari, demikianlah keyakinan yang sudah tertanam dalam benak para teolog. Berbeda dengan hasil temuan para astronom yang menghasilkan perolehan lima belas milyar tahun dari ledakan hingga terbentuknya alam semesta seperti yang saat ini kita pijaki. Permasalahan yang nantinya akan kita hadapi terkait dari pemahaman teks-teks suci, apakah enam hari yang dimaksud dalam teks sama halnya dengan yang kita pahami sebagai enam hari?
Permasalahan dalam memahami maksud dalam teks-teks suci juga dapat menjadi salah satu halangan untuk mendamaikan antara sains dan agama. Sebagaimana yang sering Einstein ungkapkan mengenai ide relativitasnya. Ketika suatu atom bergerak setara dengan kecepatan cahaya, maka pergerakan yang dirasakan dalam tenggat waktu 10 detik, sama halnya dengan perjalanan 3 juta kilometer bagi objek yang bergerak dalam kecepatan benda di bumi pada umumnya, dan tentu saja butuh waktu seumur hidup untuk menempuhnya. Hal yang sama pula yang perlu kita telaah lebih lanjut untuk mendamaikan dua pendapat yang berbeda terkait penciptaan alam semesta.
Alam Semesta Dapat Dipahami Oleh Akal
Ada suatu pengetahuan yang menghubungkan seseorang dengan pribadi lainnya, oleh sebab itu kita dapat memahami yang universal. Anggapan inilah yang dapat kita gunakan untuk mencari titik temu dialog antara saintis dan teolog. Kita dapat meramalkan gerhana matahari total melalui proses perhitungan matematis, dari sinilah dapat kita pahami bahwa Tuhan menciptakan alam semesta menggunakan konsep matematis pula, hal ini tidak lain kecuali agar manusia dapat memahami-Nya melalui ciptaannya. Jika Tuhan dapat mempertemukan diri-Nya dengan kita melalui matematika, mengapa tidak kita upayakan dialog yang dapat dipahami oleh para saintis dan teolog?
Dasar asumsi di atas adalah salah satu upaya yang dapat kita gunakan untuk mendamaikan antara sains dan agama. Kita dapat menggunakan premis-premis rasional untuk mendialogkan antara saintis dan teolog. Akal merupakan bekal yang dimiliki oleh setiap individu, maka pastinya ada satu sistem yang dapat digunakan untuk mendialogkan ke-duanya, yakni rasionalitas. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tidak ada lagi alasan bagi kaum teolog untuk menolak asumsi-asumsi yang disodorkan para saintis. Namun yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan premis-premis temuan para saintis dalam perspektif teolog.
Kosmologi Islam, Sains Modern, dan Sebab Utama (Prime Cause)
Dirasa terlalu besar pemahaman konsep penciptaan yang ada dalam kosmologi modern jika kita bandingkan dengan kosmologi Islam. Hal ini terjadi karena perbedaan sumber perolehannya, sains modern yang cenderung sekuler, mereka berusaha menafikkan bible dari penemuan empiris fisika perolehan mereka. Berbeda jauh dengan versi Islam, mereka meyakini bahwa yang tertera dalam Al Qur’an justru pengetahuan yang paling benar. Berdasarkan sumber-sumber yang ada dalam Al Qur’an; para saintis, filosof, teolog, dan sufi muslim mereka melakukan telaah lebih lanjut. Hasil dari proses telaah ini dapat kita petakan dalam 3 bentuk pemikiran, yakni:
1. Kepercayaan para teolog pada keterciptaan temporal alam semesta.
2. Kepercayaan para filosof pada kekekalan alam dan kebergantungan ontologisnya kepada Tuhan.
3. Pandangan kaum sufi dan Mulla Sadra mengenai penciptaan alam secara terus-menerus (continual recreation).
Ke-tiga pendapat tersebut seakan-akan berbeda dalam memandang alam semesta, namun ada satu kesamaan di antaranya. Tuhan merupakan satu-satunya alasan bagi penciptaan alam semesta, inilah hal yang tidak terdapat dalam sains modern. Mereka hanya melakukan penelitian mendalam mengenai materi-materi yang tampak oleh alat-alat penelitian semata, namun mereka justru melupakan Sang Pencipta. Ilmu yang muncul tanpa landasan yang kuat, akan menghasilkan ilmu yang begitu mudah untuk diruntuhkan kembali. Suasana keilmuan seperti ini berbeda dari yang kita peroleh dalam Islam. Di dalam Islam, sejauh manapun kita bergerak dan memperoleh ilmu, maka tidak akan pernah lepas dari pengaruh Tuhan di sana. Walaupun terkadang terlihat berbeda dalam memahami konsep Tuhan, namun tetap saja Tuhan disebut-sebut sebagai sebab utama (Prime Cause) alam semesta dan kesegala bentuk kehidupan di alam ini.
Dalam pembahasan filsafat, ada satu pembahasan yang dapat menghubungkan pembahasan astronomi, kosmologi, dan agama. Hukum sebab akibat merupakan satu isu penting yang menghubungkan antara astronom dan teolog dalam pembahasan ini. Para astronom yang melakukan riset secara mendalam hingga menghasilkan pada penemuan big bang senantiasa mempelajari rentetan aksi dan reaksi yang terjadi di alam hingga terbentuk seperti saat ini. Namun di saat yang sama mereka membangun teori yang tidak jelas dasarnya, dari manakah munculnya materi yang menjadi awal proses big bang tersebut? Jika kita dapat menemukan proses awal mula penciptaan, maka sudah sepantasnya jika kita meneliti lebih dalam asal mula materi penciptaan ini. Jika kita sudah tidak menemukan solusi bagi awal mula ini, di sinilah ruang kosong bagi kita untuk menempatkan figur Tuhan. Karena hukum sebab akibat tidak akan berguna tanpa adanya sebab utama yang mengawali keberadaan yang kita rasakan saat ini.
Alam Semesta Terbentuk dari Konsep Tauhid
Tuhan adalah sebab dari penciptaan alam semesta, dan Tuhan juga menurunkan kwalitasnya pada ciptaan-Nya. Jika kita lihat pada realitas yang ada, seluruh pergerakan yang ada di alam ini mengadopsi satu sistem pergerakan berporos. Artinya, setiap materi yang bergerak memerlukan poros yang menahan serta mengatur harmoni pergerakannya. Bumi bergerak berporos pada matahari, matahari berporos pada galaksi Bima Sakti, Galaksi Bima sakti berporos pada gugusan galaksinya, demikian pula seterusnya. Poros dari segala gugusan yang ada di alam semesta inilah yang diartikan sebagai awal mula big bang. Tidak hanya berhenti di sana saja, ternyata gambaran pergerakan alam semesta ini juga terdapat di dalam bumi, yakni pergerakan orang-orang yang beriman bergerak memuji Tuhannya di Ka’bah. Gambaran yang demikian inilah yang disebut sebagai konsep Tauhid. Konsep Tauhid artinya adalah bahwa alam semesta ini “sumbunya satu” dan “orbitnya satu”. Artinya adalah bahwa alam semesta ini “dari Allah” dan “akan kembali kepada Allah”.
Islam mengajarkan kepada manusia untuk mempelajari alam semua itu tidaklah sebagai ajakan belaka, namun itu bertujuan untuk memunculkan kesadaran dalam diri. Alam yang begitu kompleks dan teratur ini tidak dapat muncul sendiri. Setiap tatanan sistem yang memiliki keberaturan pastilah membutuhkan sosok pengatur. Sistem tauhid yang mendasari pergerakan yang ada di alam ini juga merupakan pertanda, bahwa agama ini turun dari Tuhan yang sama, yakni yang menciptakan alam semesta. Maka dari itu, setiap orang yang meyakini proses penciptaan, dapat dipastikan dirinya meyakini adanya pencipta. Keberadaan alam yang begitu teratur ini juga sebagai manifestasi keberadaan Tuhan yang mewariskan sifat Tauhid-Nya dalam ciptaannya.

Kesimpulan

Bagaimanapun juga, walaupun pembahasan terkait masalah sains dan agama terkesan berbeda, masih ada titik temu antara keduanya, yakni:

  1. ·         Ada satu system harmoni yang mengatur keseimbangan dalam alam, sperti system yang mengatur tubuh manusia.
  2. ·         Keteraturan system yang ada ini menunjukkan kepastian bahwa alam tidaklah tercipta secara kebetulan, karena harmonisasi dalam alam membutuhkan suatu keteraturan yang dihasilkan oleh Sang Pengatur.
  3. ·         Adapun perbedaan penilaian (relativisme) antara saintis dan kaum agamawan bukanlah suatu permasalahan yang signifikan, kita dapat mengupayakan titik temu antara keduanya.
  4. ·         Akal adalah salah satu alat perolehan pengetahuan yang dapat kita upayakan untuk menemukan dialog antara saintis dan agamawan.
  5. ·         Para ilmuwan, filosof, dan sufi dapat bertemu ketika memperbincangkan Prime Cause, maka kita dapat membuktikan bahwa ada titik temu yang mereka perbincangkan.
  6. ·         Konsep Tauhid adalah salah satu system yang ada di alam serta system social dalam Islam, ini menunjukkan adanya suatu titik temu antara keduanya. Oleh sebab itu, para saintis dan agamawan tidak perlu lagi memperdebatkan masalah penciptaan, karena kita dapat mengupayakan dialog yang apik antara keduanya, sebagaimana hubungan antara alam dan manusia.

REFERENSI
Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama. Mizan. Bandung: 2002.
Muthahhari, Murtadha. Manusia Dan Alam Semesta. Lentera. Jakarta: 2002.
Peters, Ted; Iqbal, Muzaffar; dan Haq, Syed Nomanul. Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama. Mizan. Bandung: 2006.

Read For Complete Post...

Pluralisme Agama


Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Akan tetapi tidak berarti bahwa umat Islam harus mendominasi seluruh kehidupan keberagamaan dan kebermasyarakatan di Indonesia. Itu terbukti dengan adanya agama-agama lain seperti Kristen, Budha dan Hindu juga tumbuh berkembang di negara kita. Bahkan kerukunan umat beragama sudah tercermin dalam sejarah panjang kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama tetapi meskipun demikian kita dapat hidup bersama dan saling menghormati.
Ajaran keberagamaan yang senantiasa membawa kepada kedamaian, diharapkan menjadi motor penggerak utama dalam menciptakan kehidupan yang harmonis tersebut. Akan tetapi, dinamika kebermasyarakatan mengarah pada fenomena yang berbeda. Jika kita menilik beberapa kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia, seakan agama mempunyai wajah yang menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi?. Mungkinkah ada kesalahan dalam menafsirkan ajaran (doktrin) agama yang meraka ikuti? Apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini?
Dialog adalah kunci dari permasalahan tersebut, karena dengan dialoglah kita dapat melihat dan memahami perbedaan dan selanjutnya mengetahui bagaimana harus bersikap dengan yang lain. Akan tetapi tidak segampang yang kita harapkan, karena diakui atau tidak, setiap agama pasti mempunyai misionarisme yang berbeda. Adanya klaim kebenaran yang sempit dalam sebuah agama seakan menjadi tembok Berlin dalam usaha ini. Pemahaman pluralisme disisi lain muncul dari dalam agama itu sendiri. Pemahaman ini mencoba untuk melihat sisi lain dari doktrin keberagamaan dan selanjutnya menawarkan kehidupan yang cinta damai. Dengan penerimaan pluralisme diharapkan usaha dialog akan lebih berjalan dan akan meningkatkan kerukunan antar umat beragama.Untuk itulah dalam makalah singkat ini, kami akan mencoba melihat fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan pemaknaan dan penerimaan terhadap makna pluralisme dalam agama. Apakah masyarakat sepenuhnya memahami makna pluralisme? Dan lebih khusus lagi dalam kasus keberislaman, MUI sebagai organisasi Islam di Indonesia pernah melontarkan fatwa haram terhadap konsep “pluralisme” ini. Bagaimana, dan apa sebenarnya yang menjadi keberatan MUI? Dan apa konsekuensi dari semua itu?. Kemudian Bagaimana pemaknaan kalangan pendukung maupun penolak pluralisme terhadap paham ini? Serta apa jawaban mereka terhadap fatwa ini? Ini akan menjadi perdebatan serius tentunya. Karena permasalahan inilah, kita akan mencoba memberikan analisis singkat terhadap fenomena ini, antara pro dan kontra penerimaan dan pemaknaan pluralisme di Indonesia. Dalam usaha ini kita akan lebih menggunakan pendekatan sosio-fenomenologis ketika melihat fenomena keberagamaan di Indonesia, dan mungkin juga pendekatan teologis dalam usaha menjelaskan makna pluralisme itu sendiri.
Dan pada akhirnya kita dapat melihat titik persoalannya, melihat dengan jeli dinamika keberagamaan di Indonesia, sehingga kita mampu menentukan sikap terhadap “the others” dalam setiap aspek kehidupan keberagamaan kita.
Pengertian Pluralisme Menurut Fatwa MUI
Kata “pluralism” berasal dari bahasa latin “plures”, yang berarti “beberapa” dengan implikasi perbedaan. Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1246 H/ 26-29 Juli M mengartikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Dari pengertian di atas secara eksplisit MUI memfatwakan bahwa paham pluralisme bertentangan dengan ajaran agama Islam sehingga konsekuensinya bagi umat Islam haram hukumnya untuk mengikutinya. Tetapi dalam masalah sosial yang tidak ada hubungannya dengan masalah ibadah dan aqidah tentunya umat Islam dianjurkan untuk bersikap inklusif dalam artian berhak melakukan hubungan sosial antar umat beragama selama tidak saling merugikan.
Fatwa MUI—atas pengharaman paham pluralisme—tentunya didasarkan atas berbagai macam pertimbangan baik aspek teologi maupun sosial. Secara teologi Islam mempunyai al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman hukumnya. Dan menurut pandangan MUI “pluralisme” itu bertentangan dengan al-Quran maupun Sunnah Nabi. Sedangkan dalam aspek sosial paham “pluralisme” telah menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama terutama umat Islam. MUI dalam hal ini berperan dalam hal hifdz al-din (menjaga agama dalam arti yang luas). Dan hifdz al-din merupakan hal yang paling fundamental dalam agama Islam. Jika kita lihat peran MUI ini memang cenderung Islam sentris. MUI sebagai lembaga Islam ia cenderung menaruh perhatian yang lebih, khususnya bagi kehidupan umat Islam. Padahal Indonesia—meskipun negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia—bukan Negara Islam yang berdasarkan syari’at tapi negara yang berideologi pancasila, menjunjung persamaan hak, dan mengakui serta menghargai perbedaan SARA. Hal ini memang implikasi yang wajar sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Tapi seyogyanya ia juga mempunyai peran yang sama terhadap agama-agama selain Islam.
Pandangan MUI tentang paham “pluralisme” tentunya bertentangan dengan kelompok yang mendukung bahkan yang menyerukan paham “pluralisme” harus ditanamkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mengingat begitu majemuknya bangsa Indonesia maka dipandang perlu menanamkan paham yang mempunyai spirit toleransi dan egaliterian terhadap SARA. Hal ini sangat penting untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan beragama yang damai dan aman. Dan sebenarnya pluralitas bukan hal yang asing dalam sejarah Islam. Islam bahkan lahir di tengah-tengah masyarakat yang plural. Nah bagaimanakah sebenarnya pandangan pluralisme menurut kelompok yang menyerukan paham ini harus ditanamkan di Indonesia.
Argumentasi Pendukung Pluralisme di Indonesia
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, kita tahu bahwa rasa keberagamaan yang terbuka telah terwujud dalam kehidupan sosial antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi. Mereka membentuk masyarakat yang majemuk, di mana terjadi kerja sama bisnis, hubungan guru murid dalam ilmu, dan kegiatan lainnya yang berjalan normal dan dalam kedamaian. Mungkin inilah yang mendasari adanya romantisme sejarah akan perdamaian antar agama dan akan melahirkan pemaknaan ulang terhadap konsep “pluralisme” dalam Islam, terutama oleh tokoh-tokoh yang setia mendambakan perdamaian, persamaan hak dan demokrasi, serta terbentuknya masyarakat madani yang cinta damai.
Salah satu tokoh di Indonesia, yaitu Alm Prof Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang senantiasa bersemangat untuk memberikan perspektif baru terhadap pemaknaan agama (doktrin), khususnya dalam hal pluralisme di Indonesia. Usahanya dalam memahami dan memahamkan (lewat pemikiran, perdebatan dan karyanya) konsep pluralisme telah melewati batas zaman dan berpengaruh pada kehidupan keberagamaan yang cinta damai di Indonesia.
Masalah dasar pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, yang sering disebut oleh kalangan filsafat perenial sebagai “kesatuan transenden Agama-agama” telah memicu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk “mengharamkan” pemikiran pluralisme. Pengharaman ini tentu saja mengherankan, karena sebenarnya dasar teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden (esoterik, hakikat), bukan imanen (syari’at).
Fatwa MUI ini telah menjadi perdebatan publik kala itu bahkan sampai sekarang, dan hal itu sungguh menjadi kontra-produktif bagi kalangan pendukung pluralisme. Menurut mereka, fatwa ini akan membuat pendangkalan pemikiran Pluralisme sebagai filsafat maupun teologi, yang seharusnya mempunyai banyak interpretasi dari kalangan masyarakat, baik akademisi maupun ulama. Akibat fatwa MUI itu, timbullah kesan seolah-olah pluralisme menjadi pemikiran yang merusak agama, dan bahkan adanya anggapan bahwa konsep itu datang dari Barat dan tidak sesuai dengan Islam. Padahal menurut para pendukung, seperti Cak Nur menganggap bahwa pluralisme adalah fondasi dalam membangun masyarakat yang demokratis dan cinta damai.
Sebagaimana perkataannya bahwa “pluralisme” adalah bagian terpenting dari tatanan masyarakat maju sebagaimana kondisi keberagamaan dan masyarakat di Indonesia. Menurut Cak Nur dan kalangan pendukung lainnya, dalam paham inilah dipertaruhkan, antara lain sehatnya demokrasi, keterbukaan dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Hal ini sejalan dengan (QS. 60: 8).
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Cak Nur melihat masa depan cerah ketika pluralisme mampu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Mengapa demikian?, Dia melihat adanya relasi antara kemajuan dan kemunduran Indonesia dengan Umat Muslim dan “Islam” itu sendiri. Oleh karena itu, suatu kesimpulan sederhana pernah diungkapkan Cak Nur, bahwa tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia, khususnya Muslim, untuk membuat negeri ini maju, makmur, kuat dan modern, demi kehormatannya sebagai “ Bangsa Muslim terbesar di Dunia”, para ahli mengembangkan pluralisme dan demokrasi secara sungguh-sungguh. Lebih lanjut Cak Nur menjelaskan bahwa:
“…Pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”, hanya ditilik dari kegunannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.”
Sebagaimana dia mengutip dalam (QS. Al Baqarah: 251”) “…Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas alam semesta”
Jika kita analisa lebih jauh, tampak Cak Nur berusaha untuk mendasarkan pemikirannya pada konsep teologi, dimana menurutnya pluralisme adalah bagian dari peradaban yang didasarkan pada kesamaan dasar agama-agama. Dimana menurutnya; agama (ad-Dien) esensinya (hakikatnya) adalah sama, akan tetapi berbeda kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia dengan syariat dan manhaj yang berbeda-beda. Perbedaan ini terjadi karena Allah memang menghendaki umat manusia dalam perbedaan yang membawa rahmat dan saling berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan. Sehingga bukan hanya kesatuan yang merupakan esensi agama-agama, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kebaikan bersama.
Jika kita melihat fenomena sosial keberagamaan di Indonesia, konsep pengamalan pluralisme dapat kita lihat pada adanya perbedaan ritus dan simbolisme keagamaan,_bahkan dalam satu agama sendiri ada perbedaan. Mungkin hal ini sejalan dengan gagasan fenomenolog seperti Mircea Eliade, tentang “gagasan tentang Yang Suci”. Dimana setiap masyarakat beragama mempunyai simbol-simbol tentang tempat suci, waktu suci, hari suci dan seterusnya. Lebih lanjut lagi dalam pendekatan sosiologis, pentingnya pengelolaan sosial dan pengertian akan persamaan dan perbedaan agama-agama menjadi argumen dalam memahami dan memahamkan pluralisme terhadap masyarakat. Di sinilah peran dialog untuk menyikapi perbeadaan-perbedaan ini, sehingga tidak terjadi pengklaiman kebenaran mutlak yang akhirnya akan “mengkafirkan” yang lain. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat, pluralisme akan menampilkan sikapnya yang menghargai kebebasan beragama tanpa paksaan, karena seseorang itu benar-benar mencari kebenaran menurut pemahamannya. Karena tidak boleh adanya klaim kebenaran mutlak dalam masyarakat inilah yang membuat masyarakat menjadi terbuka. Keterbukaan adalah kebebasan, dan tentu kebebasan ialah tanggungjawab.
Analisis lebih lanjut adalah ketika kita melihat efek perdebatan ini ke masyarakat secara luas. Diakui atau tidak masyarakat Indonesia adalah sungguh majemuk, selain dibedakan dengan suku, ras dan agama, adanya tingkat pengetahuan masyarakat pun berbeda-beda (bertingkat). Mungkin bagi kalangan akademis, semua itu bisa diperdebatkan. Tetapi kita mengenal istilah “Lay Person” (awam) yang mungkin akan lebih “manut” pada MUI sebagai wadah kalangan ulama yang mungkin “punya kepentingan” terhadap aspek pemerintahan. Tanpa mempertanyakan apa dan bagaimana konsep Pluralisme itu seharusnya berjalan di dalam kehidupan mereka. Demikianlah dinamika pemikiran masyarakat terhadap sebuah fenomena yang mereka tangkap dalam kehidupan sehari-hari.
Argumentasi Penolakan Paham Pluralisme
Pluralisme dalam pandangan masyarakat Muslim diartikan sebagai suatu ajaran yang mengajarkan penerimaan atas perbedaan agama. Dengan perbedaan agama yang beragam ini, maka tidak perlu lagi ummat agama lainnya mempersoalkannya, terlebih lagi dengan menciptakan permusuhan. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai beberapa anggapan mengapa Islam harus menolak ajaran pluralitas.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Demikianlah bunyi ayat yang diyakini Ulama Muslim untuk menolak pokok-pokok ajaran pluralism, Islam meyakini bahwa semua agama samawi sebelum Islam yang dibawakan oleh Rasulullah SAW merupakan bagian dari Islam. Penyempurnaan dari agama-agama tersebut adalah Islam, maka tidak lagi diperlukan pluralism dalam Islam.
Islam adalah agama yang paling akhir muncul di antara agama-agama samawi lainnya, maka Islam sudah terbiasa dengan segala bentuk perbedaan pendapat. Sesungguhnya Islam menerima bentuk dasar pluralism, sebagaimana yang ada pada struktur social masyarakat Muslim awal yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Masyarakat Muslim dapat berdampingan dengan pemeluk agama lainnya, selama membayar Jizyah mereka. Maka, pokok-pokok ajaran pluralism yang menyuarakan toleransi dan perdamaian antar agama sesungguhnya sudah lama terbentuk dalam Islam. Namun satu hal yang perlu disikapi dengan tegas oleh kaum Muslim yakni adanya praktek-praktek pengurangan nilai-nilai pluralisme (reductive pluralism).
Yang dimaksud dengan pengurangan nilai-nilai pluralism adalah, penyelewengan nilai-nilai dasar agama samawi yang menyuarakan konsep ke-Tuhanan yang sama. Tauhid adalah inti kesamaan agama-agama samawi, dan Islam tidak pernah menolak konsep ini, hanya saja penyelewengan nilai-nilai dasar inilah yang telah terjadi dalam Kristen yang pertama kali menyerukan konsep pluralism. Islam tidak akan dapat berdampingan dengan konsep ke-Tuhanan yang banyak ini, karena Islam meyakini bahwa sejak Adam hingga Muhammad SAW menyerukan Tuhan yang Satu.
All of the divinely revealed religions are called Islam in the general sense of complete submission to the commands of Allah, while Islam is used in a specific sense to refer to the final version of Islam (in the general sense) brought by Muhammad. Inilah dasar yang senantiasa digunakan bagi Islam untuk menerima agama-agama sebelum Islam sebagai agama yang sama dengannya, namun Islam tentu saja begitu tegas menilai penyelewengan-penyelewengan nilai ajarannya yang sudah dibawakan sejak Adam AS hingga Muhammad SAW. Dan poin terpenting yang ditentang oleh Islam sejak dulu adalah Polytheism, sedangkan isu pluralism ini pertama kali dibawakan oleh Kristen, yang terlihat sudah menyelewengkan nilai Monotheism menjadi Polytheism. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika ajaran pluralism yang dibawakan Kristen ini sama halnya dengan yang Islam tolerir.
Mencari Titik Temu
Perdebatan mengenai paham pluralisme memang tak kunjung padam. Di satu sisi bagi para kelompok yang menolak paham ini (termasuk di dalamnya MUI) bersikeras—dengan beberapa alasan—bahwa pluralisme bertentangan dengan ajaran agama Islam. Islam jelas menolak bahwa semua agama sama dan benar. Dan semua agama tersebut akan membawa pemeluknya kepada keselamatan dan hidup berdampingan di surga. Tentunya yang dimaksud agama-agama di sini adalah selain agama samawi. Islam sendiri membenarkan bahwa agama yang dibawakan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad adalah agama Tauhid sebagaimana agama Islam. Yang menjadi permasalahan bagi kalangan penolak paham pluralisme adalah ketika agama-agama ardli (Kristen, Budha, Hindu dll) juga merupakan agama yang benar sebagaimana orang-orang Islam meyakini kebenaran agama Islam. Biasanya mereka berargumentasi dengan firman-firman Allah dalam al-Quran yang mereka pahami bahwa hanya Islamlah agama yang benar di sisi Allah.
Sementara bagi kalangan yang mendukung paham pluralisme menegaskan bahwa “pluralitas” adalah merupakan keniscayaan dalam kehidupan. Manusia memiliki perbedaan SARA. Dan dalam sejarah peradaban Islam pluralitas sudah ada bahkan ketika Nabi Muhammad mendirikan Negara Madinah. Piagam madinah adalah bukti konkret atas pengakuan pluralitas yang ada dalam masyarakat Madinah pada waktu itu. Piagam Madinah menjadi sangat begitu penting karena tidak lain adalah untuk menghargai perbedaan yang ada baik agama, suku, ras dan lainnya sehingga kehidupan yang damai dalam masyarakat bisa tercipta. Ini adalah bukti sejarah yang tak terbantahkan bagaimana agama Islam sejak kemunculannya sudah cukup familiar dan begitu menghargai pluralitas. Nah bagi mereka yang mendukung paham pluralisme, menganggap begitu penting paham ini ditanamakan kepada masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang majemuk (ras, agama, suku, dan lainnya) sehingga tercipta kedamaian, saling toleransi, serta menjunjung persamaan hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas sebenarnya apa yang terjadi antara mereka yang mendukung atau menolak paham pluralisme. Tampak sekali terdapat perbedaan di antara mereka. Di satu sisi pluralisme dianggap bertentangan dengan ajaran Islam tapi di sisi yang lain pluralisme sudah menjadi bagian dari sejarah Islam itu sendiri. Tidak bermaksud untuk memberikan sebuah solusi tapi tampaknya dialog merupakan cara yang cukup efektif untuk menyamakan sebuah persepsi tentang paham pluralisme itu sendiri sehingga permasalahannya menjadi lebih jelas dan juga bisa menyelesaikan perbedaan yang ada. Seandainya pun tidak ada kesepakatan—dan memang tidak harus ada sebuah kesepakatan karena masing-masing punya interpretasi yang berbeda-beda dalam masalah agama—kita harus tetap menghargai perbedaan masing-masing. Kebenaran memang ada tapi kita tidak tahu siapa yang benar. Bagaimanapun juga menghargai perbedaan, bersikap toleransi, menjunjung persamaan hak merupakan hal yang sangat penting yang harus diperjuangkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga konflik-konflik yang berbau SARA yang selama ini mewarnai kehidupan bangsa Indonesia bisa dihindari.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia sangat rentan dengan problematika sosial baik perang antar suku, agama, ras, golongan dan lainnya. Untuk mengatasi hal ini maka dibutuhkan suatu pandangan yang mampu mengakomodir segala bentuk perbedaan yang ada. Masing-masing pihak harus mau saling menghargai dan menghormati satu sama lain dan tidak ada yang berhak mengklaim kebenaran mutlak (terutama dalam masalah agama) di satu sisi dan sekaligus menafikan yang lain karena jika hal itu terjadi pasti akan memicu konflik sosial mengingat masalah agama diakui atau tidak merupakan masalah yang paling sensitif. Terlepas dari perdebatan baik yang pro maupun yang kontra terhadap paham pluralisme, pluralitas adalah sebuah keniscayaan dan kita harus menjaga, menghargai, dan mengakui keberadannya demi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis.

DAFTAR PUSTAKA
• Al Qur’an al-Karim terjemahan. Departemen Agama.
• Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Mu’jam Mufahras lil Alfadzu Al Qur’an Al Karim. Dar al-Hadist. Kairo: 2001
• Connolly, Peter L. Approaches to The Study of Religion. Terj “Aneka Pendekatan Studi Agama”. LKIS. Yogyakarta: 2009
• Fathi Osman, Mohamed. Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan. Penerjemah Irfan Abubakar. Yayasan Paramadina. Jakarta: 2006
• Hidayat, Dr. Komaruddin. dan Ahmad Gaus A. F. (ed). 2001. Passing Over, Melintas Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
• http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=137
• Legenhausen, Muhammad. Islam And Religious Pluralism. Al-Hoda. London: 1999.

Read For Complete Post...