HAM Dalam Perspektif Islam


Pendahuluan
Agama dan HAM adalah isu yang sering kali dianggap bertentangan. Agama yang dianggap begitu mengikat, berbanding terbalik dengan HAM yang dinilai membebaskan keinginan manusia. Islam dengan syari’ahnya dianggap menghambat ummatnya dalam menjalankan Hak Asasi yang mereka miliki, benarkah demikian adanya? Seperti anggapan yang kerap Barat layangkan pada Islam, Islam dianggap melakukan kejahatan HAM pada ummatnya. Dalam kesempatan ini akan dibicarakan topic mengenai HAM dalam Islam, khususnya ke-Tuhanan dan HAM. Adakah relasi antara Allah SWT dengan HAM yang dimiliki manusia? Inilah yang akan menjadi poin utama pembicaraan dalam tulisan ini.
Makna Hak Asasi Manusia
Manusia dan Hak Asasinya tidak dapat dipisahkan, kemunculan HAM itu sendiri sudah dapat dipastikan sebagai suatu keniscayaan yang muncul sejak keberadaan manusia sendiri. Adam sebagai manusia pertama, oleh sebab itu HAM sudah ada sejak keberadaannya di muka bumi. Islam sebagai agama yang paling akhir muncul dinilai tidak memadai dalam memberikan ketetapan undang-undang akan HAM itu sendiri, apakah hal ini dapat dibenarkan?
Jika kita melihat pada kenyataan sejarah agama samawi, akan kita dapati beberapa peristiwa penting di dalamnya. Sejak awal mula penciptaan Adam, Allah SWT sudah memberikan perintah pada dua makhluk yang paling utama sebelum manusia untuk bersujud pada Adam. Atas pembangkangan yang dilakukan Iblis dari golongan Jin, dinilai sebagai satu tindak kejahatan pada masa itu. Apakah Allah SWT menghilangkan Hak Asasi yang Iblis miliki, dengan memaksanya sujud kepada Adam? Kejadian ke-dua terjadi ketika Adam melanggar perintah Allah SWT untuk tidak memakan buah Khuldi. Apakah Allah SWT telah menghilangkan Hak Asasi bagi Adam untuk memakan buah Khuldi? Kejadian ke-tiga terjadi ketika Adam hendak mengawinkan ke-empat anaknya.Ketika anak Adam beranjak dewasa, kemudian Allah SWT memerintahkan Adam untuk mengawinkan keempat anaknya berdasarkan pasangan yang telah ditentukan, apakah Adam telah menghilangkan Hak Asasi anaknya sendiri untuk memilih? Berbekal pada ke-tiga kasus inilah akan kita berikan pembahasan lanjut mengenai posisi Hak Asasi dalam kehidupan manusia nantinya.
Di era modern ini, banyak sekali kita temui berbagai isu terkait permasalahan HAM sendiri. Namun hal yang harus kita pertimbangkan di sini pertama-tama adalah makna dari Hak Asasi tersebut. Sebagian besar aktifis HAM dewasa ini begitu gigih dalam menyuarakan HAM sebagai suatu bentuk kebebasan, dapatkah kita terima adanya kebebasan sebagai suatu makna yang mewakili HAM? Setiap orang memiliki HAM-nya masing-masing, sedemikian besar peran HAM dalam dirinya sehingga tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri HAk yang dimilikinya. Namun permasalahan akan muncul ketika Hak Asasi seseorang bersinggungan bahkan menerobos Hak Asasi yang dimiliki orang lain. Jika saja Hak Asasi diartikan sebagai suatu bentuk kebebasan, maka sudah sepatutnya bagi setiap orang memiliki Hak yang tak terbatas. Namun pada kenyataannya, tidak akan dapat kita temui suatu Hak yang tak terbatas hingga tidak ada seorang-pun yang berhak mencampurinya. Setiap Hak seseorang, senantiasa berbatasan dengan Hak orang lain, maka dari itu kebebasan dinilai tidak mencukupi untuk mewakili Hak Asasi dalam pemaknaan.
Dari ke-tiga kasus yang kita temui dalam penciptaan manusia pertama sudah dapat kita lihat bahwa kebebasan bukanlah kata yang tepat untuk mewakili Hak asasi yang tidak hanya ada pada manusia, melainkan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah SWT. Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam, atas ketinggian yang dimiliki-Nya inilah maka tidak akan dimungkinkan segala bentuk kesalahan bagi-Nya. Jika kita lihat dari ke-tiga contoh di atas, pantaskah Allah SWT dengan ke-egoisan-Nya melakukan berbagai perintah yang memaksa ciptaan-Nya? Dalam Islam, Perintah dan Kehendak yang Allah SWT miliki adalah sepenuhnya kebaikan bagi setiap ciptaan-Nya, sedemikian baiknya sehingga setiap makhluk harus mematuhi-Nya. Bukan dalam artian memaksa, melainkan untuk mempertahankan Kebijaksanaan yang dimiliki-Nya. Dia Mengetahui apa yang tidak kita ketahui, oleh karenanya kita sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan, sudah sepatutnya untuk mematuhi Perintah-Nya.
Setiap kelahiran seorang bayi, Allah SWT sesungguhnya telah membekalinya dengan Hak yang sama sebagaimana manusia lainnya. Ia memiliki indera, akal, hati, serta segala kelengkapan yang dimiliki manusia lainnya. Bahkan tidak hanya manusia, makhluk lain pun juga menerima hal yang sama sebagaimana kelengkapan yang telah ditentukan-Nya. Adapun cacat atau kelainan, bukanlah suatu hal yang Allah SWT kehendaki, karena Allah SWT sesungguhnya menciptakan dalam kebaikan dan yang membuat buruk suatu keadaan adalah akibat dari tindakan manusia itu sendiri yang tanpa dia sadari akibatnya. Dari sini kita dapati bahwasannya Allah SWT dengan begitu Maha Adil-Nya telah menciptakan suatu system yang begitu sempurna dalam kehidupan ini. Demikian pula dengan Hak Asasi yang kita miliki itu bukanlah suatu hal yang ada karena kita, melainkan suatu anugerah yang Allah SWT berikan kepada kita, untuk saling memahami antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, makna yang paling pantas kita berikan pada Hak Asasi bukanlah kebebasan, melainkan suatu system keserasian yang menjaga hubungan kita dengan Allah SWT, sesama, dan alam.
Sebagaimana yang telah dibicarakan di atas, Hak Asasi adalah suatu bagian dari diri kita yang sudah ada sejak kita lahir. Namun agaknya Hak Asasi ini baru berlaku ketika manusia berinteraksi dalam kehidupannya dengan manusia lain. Agar terciptanya suatu system harmoni, maka yang perlu diperhatikan adalah perasaan. Sedemikian tingginya intelektual yang manusia miliki, hubungan yang harmonis antar sesama tidak akan pernah terbentuk selama manusia tidak menggunakan hati dan perasaanya. Bukankah telah kita rasakan adanya ego yang merusak hubungan kita dengan orang lain? Oleh sebab itu sudah dapat dipastikan bahwa Hak Asasi produk bentukan negara barat yang menunjukkan karakter egoistis tidak akan pernah berhasil dalam mewujudkan perdamaian dunia. Karena suatu perdamaian akan terwujud ketika kita mau memahami, bukanlah ketika kita ingin dipahami oleh masing-masing individu.
Kemunculan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia muncul dari bentuk kesadaran tiap individu pada individu lainnya. Allah SWT memberikan kita hati sebagai alat untuk merasakan apa yang dirasakan oleh sesame, inilah satu upaya bijak Allah SWT untuk membentuk kesadaran bagi tiap individu. Tanpa adanya hati dan rasa, maka dapat kita pastikan hingga saat ini tidak akan ada seorangpun yang mampu menyadari akan hal ini. Bahkan seorang yang memiliki nalar cukup tinggi sekalipun tidak akan dapat menyadari realitas akan Hak Asasi, karena Hak seseorang hanya dapat dirasakan dan bukan untuk dirasionalkan dalam suatu susunan yang sistematis.
Dari sini sudah dapat kita pastikan bahwa Hak Asasi itu ada dikarenakan adanya pemberian Allah SWT kepada kita. Namun tidak hanya berhenti di sini saja, karena Hak Asasi tidak akan cukup dengan potensi yang Allah SWT berikan, melainkan harus adanya upaya respon atas potensi tersebut. Respon inilah yang akhirnya menghasilkan kesadaran dalam diri kita, dan kita ungkapkan pada orang lain yang dirasakan oleh mereka. Perasaan yang sama inilah yang kemudian muncul dalam suatu formula yang disepakati dalam konsep Hak Asasi Manusia. Inilah yang pada tahap selanjutnya menjadi undang-undang public yang mengatur ruang gerak HAM bagi masing-masing individu. Dari sini dapat dipastikan bahwa HAM bukanlah suatu bentuk kebebasan yang tak terbatas.
Di manakah Hak Asasi Manusia Berlaku?
Manusia adalah makhluk social, oleh karenanya Hak Asasi yang dimilikinya senantiasa bergantung pada kondisi social masyarakat yang berlaku. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa masing-masing individu memiliki Hak Asasi yang berbatasan dengan individu lainnya. Di sinilah peran Hak Asasi Manusia berjalan, dengan adanya kesepakatan atau satu system social tersebut maka tiap-tiap individu berhati-hati dalam menjalankan Haknya masing-masing. Namun jika Hak tiap individu ini tidak diformulasikan dalam suatu undang-undang, maka akan terjadi kekacauan. Hal ini bukan dikarenakan adanya paksaan dalam HAM, melainkan adanya upaya sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan Haknya dalam masyarakat. Untuk menghindari upaya kejahatan dalam HAM inilah, perlu diadakan formulasi undang-undang HAM.
Dari pernyataan di atas sudah dapat kita pastikan bahwa HAM itu ada ketika kita berinteraksi dengan individu lainnya. Tetapi ketika kita berhadapan dengan Allah SWT, adakah lagi tuntutan atas HAM bagi diri kita? HAM adalah anugerah dari-Nya, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk tidak mencampurkan urusan kemanusiaan dengan urusan yang begitu pribadi. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya adalah permasalahan yang begitu sensitive, tidak ada seorangpun yang berhak mencampurinya, namun tentu saja ini berlaku ketika individu tersebut tidak bersinggungan dengan kepentingan individu lainnya. Satu hal yang perlu kita pahami dalam hal ini bahwa HAM hanya berlaku ketika kita berada dalam ruang public masyarakat, namun ketika kita berhubungan dengan Allah SWT, maka tidak ada lagi yang kita sebut sebagai HAM, karena allah SWT tidak akan pernah melakukan kesalahan pada diri kita, justru kita yang kerap kali melakukan kesalahan kepada-Nya.
Piagam Madinah dan Risalah al Huquq dalam menanggapi HAM
Piagam Madinah dan Risalah al Huquq adalah beberapa bukti bahwa Islam juga memiliki tanggapan yang begitu besar dalam permasalahan HAM. Maka dalam kesempatan ini akan dibicarakan isu penting terkait pembicaraan ini yang ada dalam keduanya. Kita mulai pembicaraan ini dengan menelaah isi pasal 1 Piagam Madinah, “Sesungguhnya mereka satu bangsa dan negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.” Sebagaimana yang telah kita lihat, bahwa ciri utama dari HAM dalam Islam bahwa pengaruh Ideologi yang begitu kuat adalah dasar utama bagi setiap aspek kehidupan manusia, dalam hal ini yakni iman pada Allah SWT, bukan berdasarkan kekuasaan manusia. Maka dari itu kita tidak akan pernah mendapati tatanan masyarakat yang Rasulullah SAW buat, berdasarkan pada bentuk kerajaan atau kekhalifahan. Rasul SAW juga tidak pernah menyebut dirinya sebagai seorang khalifah ataupun raja.
Sedangkan dalam Risalah al Huquq, yang menjadi poin utama atas susunan Hak yang ada adalah “Hak Allah”, yang berbunyi:
Adapun memenuhi hal Allah yang terbesar atasmu adalah dengan mengabdi (beribadah) kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Jika kau kerjakan itu dengan tulus ikhlas, Ia pun akan mewajibkan atas diri-Nya menyelesaikan segala urusan dunia dan akhiratmu dan menjaga segala yang kau sukai dari keduanya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Hak Asasi yang kita miliki adalah kesadaran kita atas potensi yang Allah SWT karuniakan pada kita. Dan sebagai bentuk rasa syukur kita melalui ibadah kepada-Nya. Dari kedua poin di atas dapat kita lihat, bahwa hokum HAM dalam Islam berlandaskan pada asas ke-Tuhanan. Landasan utama yang diyakini dalam Islam adalah, manusia tiada memiliki daya apapun, dan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang memberikan daya, upaya, kehendak, serta kebebasan. Oleh karena itu, walaupun manusia memiliki kebebasan dan kehendak, tetap saja itu semua pemberian dari Allah SWT. Manusia diberi Hak hanya untuk memanfaatkan segala pemberian yang Allah SWT karuniakan pada kita, hanya untuk kebaikan.
Kesimpulan
Hak Asasi yang disebutkan dalam poin-poin universal Barat seakan-akan terkemas apik sebagaimana halnya yang tertera dalam Deklarasi Universal. Namun, kita harus melakukan telaah lebih lanjut atas apa yang ada di dalam Islam. Islam tidaklah miskin, melainkan kaya. Bahkan sebelum dunia menemukan Deklarasi Universal, Islam sudah memberikan dua system undang-undang HAM. Namun yang perlu kita sikapi di sini adalah; Hak Asasi bukanlah suatu bentuk kebebasan, melainkan suatu bentuk kesadaran untuk merasakan apa yang orang lain inginkan, yang terwujud dalam suatu system harmoni yang menjaga keselarasan tersebut. Hak Asasi adalah karunia Allah SWT, yang berlaku untuk sesama manusia. Ke-Tuhanan adalah landasan utama HAM dalam Islam.
REFERENSI
Al- Baqir, Muhammad. Ulama, Sufi, dan Pemimpin Umat: Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin, Cucu Rasulullah. Mizan. Bandung: 1993.
Piagam Madinah