Penciptaan Alam Semesta dan Kesadaran Agama


Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi. Bagaimana tidak, klaim itu muncul tidaklah semata-mata tanpa sebab. Akal adalah salah satu anugerah yang begitu besar yang diperoleh manusia. Dengan akal manusia dapat memikirkan serta memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. Namun tidak cukup hanya akal, Sang Pencipta menilai bahwa manusia memerlukan agama sebagai bimbingan hidup manusia. Manusia juga hidup di alam, dari sinilah dapat ditelaah sistematika yang ada dalam alam. Adakah hubungan antara alam ini dengan Tuhan dan agama? Sebagian golongan saintis meyakini bahwa proses terciptanya alam semesta ini tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan, dan nantinya akan kita bahas lebih dalam dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan kita telaah lebih dalam perihal alam, penciptaan, Tuhan, dan agama.
Teori Big Bang dan Awal Mula Penciptaan
Begitu banyak pendapat yang ada terkait alam semesta, bahkan sejak masa Ptolomeus hingga sekarang. Pada masa Yunani kuno manusia meyakini bahwa alam semesta ini relatif kecil dan sempit, bahkan bumi sendiri ditopang oleh Atlas sang dewa raksasa yang menopang bumi. Pendapat ini bertahan begitu lama, bahkan hingga masa gereja yang akhirnya ditentang oleh Galileo hingga mengorbankan dirinya. Doktrin alkitab yang diyakini gereja menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta hanya memakan waktu enam hari, dan bumi sebagai pusatnya. Doktrin inilah yang ditentang Galileo berdasarkan penelitian yang ia lakukan, namun konsekwensi pendapat inilah yang menghantarkannya pada akhir hidupnya. Seiring waktu dan hasil temuan-temuan baru lainnya, menhantarkan manusia pada keluasan alam semesta yang begitu luas bahkan tak terhingga. Isu-isu baru inilah yang menghantarkan kita pada teori-teori baru kosmologi, yang tak terelakkan lagi menghasilkan persinggungan antara sains dan agama.
Kesadaran akan ruang alam semesta yang begitu besar mulai terbentuk pada abad 20-an, Albert Einstein disebut-sebut sebagai tokoh utama pembentuk anggapan ini. Melalui teori Relativitas yang Einstein kemukakan yakni alam semesta ini melengkung dan terbentuk dari suatu ledakan maha dahsyat sekitar lima belas milyar tahun silam, dan akibat dari ledakan ini terdapat sisa pijaran kosmis yang melalui proses kondensasi berbarengan kelengkungan alam semesta yang terus mengembang. Pendapat ini diamini oleh sebagian astronom kawakan lainnya, dimulai dari Willem de Sitter (1917), kemudian Edwin Hubble (1929) yang membuktikan spektra pergerakan antar galaksi dari bumi dengan sebutan red shift. Kemudian pada 1965, Arno Penzias dan Robert Wilson dengan gelombang mikronya, mereka berdua adalah saintis yang pertama kali berhasil mendeteksi sisa-sisa ledakan big bang lima belas milyar tahun silam. Secara tidak sengaja mereka berdua berhasil merekam gelombang mikro yang begitu lemah dan gelombang ini ternyata ada di segala penjuru angkasa, setelah melewati proses penelitian lanjut gelombang ini diyakini sebagai sisa radiasi ledakan lima belas milyar tahun silam.
Ada empat gaya dasar fisika terkait proses ledakan tersebut yang diyakini para fisikawan, yakni; 1. Gaya elektromagnetik yang mengendalikan perilaku cahaya dan partikel bermuatan, 2. Gaya nuklir lemah yang mengendalikan peluruhan radioaktif, 3. Gaya nuklir kuat yang mengikat proton dan neutron di dalam inti atom, dan 4. Gaya gravitasi yang bekerja antarmassa dari suatu jarak.
Dari empat teori inilah para saintis berpendapat adanya teori-teori mendasar sebagai sebab penciptaan bahkan menjaga sistem harmoninya hingga saat ini. Pada 1967, Steven Weinberg dan Abdus Salam berhasil menemukan terobosan baru terkait teori penciptaan ini, mereka berdua berhasil mengawinkan teori pertama dan ke-dua. Dengan perkembangan penemuan penelitian inilah kemudian para saintis lainnya berusaha untuk menemukan sebuah teori dasar penciptaan untuk memadatkan ke-empat teori tersebut, dan teori ini disebut sebagai Grand Unified Theory. Para saintis meyakini, jika teori tersebut berhasil ditemukan maka manusia telah berhasil menguak teori utama penciptaan yang Tuhan gunakan selama ini dalam proses penciptaan.
Berangkat dari rasa ingin tahu para ilmuwan, menghasilkan rumusan-rumusan tertentu terkait penciptaan. Ketika isu-isu astronomi berkembang menjadi isu-isu penciptaan inilah yang mengusik keengganan para teolog dan agamawan untuk masuk dalam kajian sains. Rasa ingin tahu para ilmuwan yang mendasari mereka untuk melakukan berbagai proses penelitian lanjut, secara tidak sengaja menghantarkan mereka pada laboratorium ke-Tuhanan di mana Tuhan biasa mencipta. Di sisi lain di luar laboratorium ke-Tuhanan tersebut telah siap para penjaga Tuhan yang begitu taat bernama teolog dan siap berhadapan dengan para ilmuwan yang siap mendobrak pintu laboratorium. Maka, pada saat inilah sains harus berhadapan dengan agama.
Persinggungan antara saintis dan teolog ini mengakibatkan perbenturan sengit antara ke-duanya, khususnya dalam dunia barat yang pada umumnya menganut keyakinan materialis-ateistik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert Jastrow bahwa “bukti astronomis mengarah ke pandangan biblikal tentang asal-usul alam semesta.” Para saintis menjadi alergi ketika teori ilmiah sains berubah menjadi doktrin ortodoks, begitu pula para teolog yang tidak ingin kesucian Tuhan-nya harus diuji coba dalam suatu bentuk rumusan ilmiah matematis. Oleh sebab itu dirasa perlu bagi kita untuk menyinggung empat pandangan dasar antara sains dan agama dalam merespons teori-teori kosmologi mutakhir.
Alam Tercipta Secara Kebetulan
Steady-state Theory adalah landasan utama bagi anggapan ini, sebagaimana yang umumnya diungkapkan para ilmuwan ateis, dan Fred Hoyle merupakan salah satu pencetusnya. Teori tersebut berusaha mengungkapkan bahwa, atom hidrogen akan terbentuk, secara lambat dan terus-menerus, di seluruh ruang dan dalam waktu yang tak terbatas. Atom hidrogen sebagai air, telah diyakini oleh sebagian besar para ilmuwan bahkan teolog sebagai zat dasar suatu kehidupan. Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam teori tersebut, air akan terbentuk pada waktu yang tak terbatas, artinya tiada suatu awal untuk terbentuknya air. Tanpa adanya suatu awalan maka tidak dibutuhkan lagi suatu penciptaan, sebuah teori yang begitu cantik yang digunakan para ateis untuk menafikkan keberadaan sang Pencipta. Anggapan yang demikian ini pula yang sering dihindari para kosmolog untuk mengidentifikasi penciptaan pada suatu keadaan waktu yang tak terbatas.
Berdasarkan temuan dalam Teori Big Bang, bentuk teori di atas sudah tidak dapat lagi dipercaya. Ada beberapa temuan keadaan yang dapat kita gunakan untuk membantah teori di atas, jika saja temperatur, laju, dan waktu ledakan yang terjadi lima belas milyar tahun silam sedikit saja lebih kecil atau lebih besar, maka tidak akan terbentuk kehidupan. Kita telah mengetahui, betapa rentannya kondisi fisik organisme yang ada di muka bumi ini, jika suhu di bumi lebih panas, manusia tidak akan mampu hidup, dan jika lebih dingin tidak akan mampu pula manusia bertahan hidup. Bentuk ketepatan takaran yang begitu teliti inilah yang seharusnya kita teliti lebih lanjut, apakah mungkin perencanaan yang begitu matang ini ada secara kebetulan? Hukum rasional sendiri akan menjawab bahwa segala bentuk keteraturan akan senantiasa membutuhkan pengatur, inilah yang kita sebut sebagai Tuhan.
Makna Penciptaan Dalam Agama
Alam semesta Tuhan ciptakan dalam kurun waktu enam hari, demikianlah keyakinan yang sudah tertanam dalam benak para teolog. Berbeda dengan hasil temuan para astronom yang menghasilkan perolehan lima belas milyar tahun dari ledakan hingga terbentuknya alam semesta seperti yang saat ini kita pijaki. Permasalahan yang nantinya akan kita hadapi terkait dari pemahaman teks-teks suci, apakah enam hari yang dimaksud dalam teks sama halnya dengan yang kita pahami sebagai enam hari?
Permasalahan dalam memahami maksud dalam teks-teks suci juga dapat menjadi salah satu halangan untuk mendamaikan antara sains dan agama. Sebagaimana yang sering Einstein ungkapkan mengenai ide relativitasnya. Ketika suatu atom bergerak setara dengan kecepatan cahaya, maka pergerakan yang dirasakan dalam tenggat waktu 10 detik, sama halnya dengan perjalanan 3 juta kilometer bagi objek yang bergerak dalam kecepatan benda di bumi pada umumnya, dan tentu saja butuh waktu seumur hidup untuk menempuhnya. Hal yang sama pula yang perlu kita telaah lebih lanjut untuk mendamaikan dua pendapat yang berbeda terkait penciptaan alam semesta.
Alam Semesta Dapat Dipahami Oleh Akal
Ada suatu pengetahuan yang menghubungkan seseorang dengan pribadi lainnya, oleh sebab itu kita dapat memahami yang universal. Anggapan inilah yang dapat kita gunakan untuk mencari titik temu dialog antara saintis dan teolog. Kita dapat meramalkan gerhana matahari total melalui proses perhitungan matematis, dari sinilah dapat kita pahami bahwa Tuhan menciptakan alam semesta menggunakan konsep matematis pula, hal ini tidak lain kecuali agar manusia dapat memahami-Nya melalui ciptaannya. Jika Tuhan dapat mempertemukan diri-Nya dengan kita melalui matematika, mengapa tidak kita upayakan dialog yang dapat dipahami oleh para saintis dan teolog?
Dasar asumsi di atas adalah salah satu upaya yang dapat kita gunakan untuk mendamaikan antara sains dan agama. Kita dapat menggunakan premis-premis rasional untuk mendialogkan antara saintis dan teolog. Akal merupakan bekal yang dimiliki oleh setiap individu, maka pastinya ada satu sistem yang dapat digunakan untuk mendialogkan ke-duanya, yakni rasionalitas. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tidak ada lagi alasan bagi kaum teolog untuk menolak asumsi-asumsi yang disodorkan para saintis. Namun yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan premis-premis temuan para saintis dalam perspektif teolog.
Kosmologi Islam, Sains Modern, dan Sebab Utama (Prime Cause)
Dirasa terlalu besar pemahaman konsep penciptaan yang ada dalam kosmologi modern jika kita bandingkan dengan kosmologi Islam. Hal ini terjadi karena perbedaan sumber perolehannya, sains modern yang cenderung sekuler, mereka berusaha menafikkan bible dari penemuan empiris fisika perolehan mereka. Berbeda jauh dengan versi Islam, mereka meyakini bahwa yang tertera dalam Al Qur’an justru pengetahuan yang paling benar. Berdasarkan sumber-sumber yang ada dalam Al Qur’an; para saintis, filosof, teolog, dan sufi muslim mereka melakukan telaah lebih lanjut. Hasil dari proses telaah ini dapat kita petakan dalam 3 bentuk pemikiran, yakni:
1. Kepercayaan para teolog pada keterciptaan temporal alam semesta.
2. Kepercayaan para filosof pada kekekalan alam dan kebergantungan ontologisnya kepada Tuhan.
3. Pandangan kaum sufi dan Mulla Sadra mengenai penciptaan alam secara terus-menerus (continual recreation).
Ke-tiga pendapat tersebut seakan-akan berbeda dalam memandang alam semesta, namun ada satu kesamaan di antaranya. Tuhan merupakan satu-satunya alasan bagi penciptaan alam semesta, inilah hal yang tidak terdapat dalam sains modern. Mereka hanya melakukan penelitian mendalam mengenai materi-materi yang tampak oleh alat-alat penelitian semata, namun mereka justru melupakan Sang Pencipta. Ilmu yang muncul tanpa landasan yang kuat, akan menghasilkan ilmu yang begitu mudah untuk diruntuhkan kembali. Suasana keilmuan seperti ini berbeda dari yang kita peroleh dalam Islam. Di dalam Islam, sejauh manapun kita bergerak dan memperoleh ilmu, maka tidak akan pernah lepas dari pengaruh Tuhan di sana. Walaupun terkadang terlihat berbeda dalam memahami konsep Tuhan, namun tetap saja Tuhan disebut-sebut sebagai sebab utama (Prime Cause) alam semesta dan kesegala bentuk kehidupan di alam ini.
Dalam pembahasan filsafat, ada satu pembahasan yang dapat menghubungkan pembahasan astronomi, kosmologi, dan agama. Hukum sebab akibat merupakan satu isu penting yang menghubungkan antara astronom dan teolog dalam pembahasan ini. Para astronom yang melakukan riset secara mendalam hingga menghasilkan pada penemuan big bang senantiasa mempelajari rentetan aksi dan reaksi yang terjadi di alam hingga terbentuk seperti saat ini. Namun di saat yang sama mereka membangun teori yang tidak jelas dasarnya, dari manakah munculnya materi yang menjadi awal proses big bang tersebut? Jika kita dapat menemukan proses awal mula penciptaan, maka sudah sepantasnya jika kita meneliti lebih dalam asal mula materi penciptaan ini. Jika kita sudah tidak menemukan solusi bagi awal mula ini, di sinilah ruang kosong bagi kita untuk menempatkan figur Tuhan. Karena hukum sebab akibat tidak akan berguna tanpa adanya sebab utama yang mengawali keberadaan yang kita rasakan saat ini.
Alam Semesta Terbentuk dari Konsep Tauhid
Tuhan adalah sebab dari penciptaan alam semesta, dan Tuhan juga menurunkan kwalitasnya pada ciptaan-Nya. Jika kita lihat pada realitas yang ada, seluruh pergerakan yang ada di alam ini mengadopsi satu sistem pergerakan berporos. Artinya, setiap materi yang bergerak memerlukan poros yang menahan serta mengatur harmoni pergerakannya. Bumi bergerak berporos pada matahari, matahari berporos pada galaksi Bima Sakti, Galaksi Bima sakti berporos pada gugusan galaksinya, demikian pula seterusnya. Poros dari segala gugusan yang ada di alam semesta inilah yang diartikan sebagai awal mula big bang. Tidak hanya berhenti di sana saja, ternyata gambaran pergerakan alam semesta ini juga terdapat di dalam bumi, yakni pergerakan orang-orang yang beriman bergerak memuji Tuhannya di Ka’bah. Gambaran yang demikian inilah yang disebut sebagai konsep Tauhid. Konsep Tauhid artinya adalah bahwa alam semesta ini “sumbunya satu” dan “orbitnya satu”. Artinya adalah bahwa alam semesta ini “dari Allah” dan “akan kembali kepada Allah”.
Islam mengajarkan kepada manusia untuk mempelajari alam semua itu tidaklah sebagai ajakan belaka, namun itu bertujuan untuk memunculkan kesadaran dalam diri. Alam yang begitu kompleks dan teratur ini tidak dapat muncul sendiri. Setiap tatanan sistem yang memiliki keberaturan pastilah membutuhkan sosok pengatur. Sistem tauhid yang mendasari pergerakan yang ada di alam ini juga merupakan pertanda, bahwa agama ini turun dari Tuhan yang sama, yakni yang menciptakan alam semesta. Maka dari itu, setiap orang yang meyakini proses penciptaan, dapat dipastikan dirinya meyakini adanya pencipta. Keberadaan alam yang begitu teratur ini juga sebagai manifestasi keberadaan Tuhan yang mewariskan sifat Tauhid-Nya dalam ciptaannya.

Kesimpulan

Bagaimanapun juga, walaupun pembahasan terkait masalah sains dan agama terkesan berbeda, masih ada titik temu antara keduanya, yakni:

  1. ·         Ada satu system harmoni yang mengatur keseimbangan dalam alam, sperti system yang mengatur tubuh manusia.
  2. ·         Keteraturan system yang ada ini menunjukkan kepastian bahwa alam tidaklah tercipta secara kebetulan, karena harmonisasi dalam alam membutuhkan suatu keteraturan yang dihasilkan oleh Sang Pengatur.
  3. ·         Adapun perbedaan penilaian (relativisme) antara saintis dan kaum agamawan bukanlah suatu permasalahan yang signifikan, kita dapat mengupayakan titik temu antara keduanya.
  4. ·         Akal adalah salah satu alat perolehan pengetahuan yang dapat kita upayakan untuk menemukan dialog antara saintis dan agamawan.
  5. ·         Para ilmuwan, filosof, dan sufi dapat bertemu ketika memperbincangkan Prime Cause, maka kita dapat membuktikan bahwa ada titik temu yang mereka perbincangkan.
  6. ·         Konsep Tauhid adalah salah satu system yang ada di alam serta system social dalam Islam, ini menunjukkan adanya suatu titik temu antara keduanya. Oleh sebab itu, para saintis dan agamawan tidak perlu lagi memperdebatkan masalah penciptaan, karena kita dapat mengupayakan dialog yang apik antara keduanya, sebagaimana hubungan antara alam dan manusia.

REFERENSI
Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama. Mizan. Bandung: 2002.
Muthahhari, Murtadha. Manusia Dan Alam Semesta. Lentera. Jakarta: 2002.
Peters, Ted; Iqbal, Muzaffar; dan Haq, Syed Nomanul. Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama. Mizan. Bandung: 2006.