Pluralisme Agama


Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Akan tetapi tidak berarti bahwa umat Islam harus mendominasi seluruh kehidupan keberagamaan dan kebermasyarakatan di Indonesia. Itu terbukti dengan adanya agama-agama lain seperti Kristen, Budha dan Hindu juga tumbuh berkembang di negara kita. Bahkan kerukunan umat beragama sudah tercermin dalam sejarah panjang kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama tetapi meskipun demikian kita dapat hidup bersama dan saling menghormati.
Ajaran keberagamaan yang senantiasa membawa kepada kedamaian, diharapkan menjadi motor penggerak utama dalam menciptakan kehidupan yang harmonis tersebut. Akan tetapi, dinamika kebermasyarakatan mengarah pada fenomena yang berbeda. Jika kita menilik beberapa kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia, seakan agama mempunyai wajah yang menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi?. Mungkinkah ada kesalahan dalam menafsirkan ajaran (doktrin) agama yang meraka ikuti? Apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini?
Dialog adalah kunci dari permasalahan tersebut, karena dengan dialoglah kita dapat melihat dan memahami perbedaan dan selanjutnya mengetahui bagaimana harus bersikap dengan yang lain. Akan tetapi tidak segampang yang kita harapkan, karena diakui atau tidak, setiap agama pasti mempunyai misionarisme yang berbeda. Adanya klaim kebenaran yang sempit dalam sebuah agama seakan menjadi tembok Berlin dalam usaha ini. Pemahaman pluralisme disisi lain muncul dari dalam agama itu sendiri. Pemahaman ini mencoba untuk melihat sisi lain dari doktrin keberagamaan dan selanjutnya menawarkan kehidupan yang cinta damai. Dengan penerimaan pluralisme diharapkan usaha dialog akan lebih berjalan dan akan meningkatkan kerukunan antar umat beragama.Untuk itulah dalam makalah singkat ini, kami akan mencoba melihat fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan pemaknaan dan penerimaan terhadap makna pluralisme dalam agama. Apakah masyarakat sepenuhnya memahami makna pluralisme? Dan lebih khusus lagi dalam kasus keberislaman, MUI sebagai organisasi Islam di Indonesia pernah melontarkan fatwa haram terhadap konsep “pluralisme” ini. Bagaimana, dan apa sebenarnya yang menjadi keberatan MUI? Dan apa konsekuensi dari semua itu?. Kemudian Bagaimana pemaknaan kalangan pendukung maupun penolak pluralisme terhadap paham ini? Serta apa jawaban mereka terhadap fatwa ini? Ini akan menjadi perdebatan serius tentunya. Karena permasalahan inilah, kita akan mencoba memberikan analisis singkat terhadap fenomena ini, antara pro dan kontra penerimaan dan pemaknaan pluralisme di Indonesia. Dalam usaha ini kita akan lebih menggunakan pendekatan sosio-fenomenologis ketika melihat fenomena keberagamaan di Indonesia, dan mungkin juga pendekatan teologis dalam usaha menjelaskan makna pluralisme itu sendiri.
Dan pada akhirnya kita dapat melihat titik persoalannya, melihat dengan jeli dinamika keberagamaan di Indonesia, sehingga kita mampu menentukan sikap terhadap “the others” dalam setiap aspek kehidupan keberagamaan kita.
Pengertian Pluralisme Menurut Fatwa MUI
Kata “pluralism” berasal dari bahasa latin “plures”, yang berarti “beberapa” dengan implikasi perbedaan. Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1246 H/ 26-29 Juli M mengartikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Dari pengertian di atas secara eksplisit MUI memfatwakan bahwa paham pluralisme bertentangan dengan ajaran agama Islam sehingga konsekuensinya bagi umat Islam haram hukumnya untuk mengikutinya. Tetapi dalam masalah sosial yang tidak ada hubungannya dengan masalah ibadah dan aqidah tentunya umat Islam dianjurkan untuk bersikap inklusif dalam artian berhak melakukan hubungan sosial antar umat beragama selama tidak saling merugikan.
Fatwa MUI—atas pengharaman paham pluralisme—tentunya didasarkan atas berbagai macam pertimbangan baik aspek teologi maupun sosial. Secara teologi Islam mempunyai al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman hukumnya. Dan menurut pandangan MUI “pluralisme” itu bertentangan dengan al-Quran maupun Sunnah Nabi. Sedangkan dalam aspek sosial paham “pluralisme” telah menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama terutama umat Islam. MUI dalam hal ini berperan dalam hal hifdz al-din (menjaga agama dalam arti yang luas). Dan hifdz al-din merupakan hal yang paling fundamental dalam agama Islam. Jika kita lihat peran MUI ini memang cenderung Islam sentris. MUI sebagai lembaga Islam ia cenderung menaruh perhatian yang lebih, khususnya bagi kehidupan umat Islam. Padahal Indonesia—meskipun negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia—bukan Negara Islam yang berdasarkan syari’at tapi negara yang berideologi pancasila, menjunjung persamaan hak, dan mengakui serta menghargai perbedaan SARA. Hal ini memang implikasi yang wajar sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Tapi seyogyanya ia juga mempunyai peran yang sama terhadap agama-agama selain Islam.
Pandangan MUI tentang paham “pluralisme” tentunya bertentangan dengan kelompok yang mendukung bahkan yang menyerukan paham “pluralisme” harus ditanamkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mengingat begitu majemuknya bangsa Indonesia maka dipandang perlu menanamkan paham yang mempunyai spirit toleransi dan egaliterian terhadap SARA. Hal ini sangat penting untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan beragama yang damai dan aman. Dan sebenarnya pluralitas bukan hal yang asing dalam sejarah Islam. Islam bahkan lahir di tengah-tengah masyarakat yang plural. Nah bagaimanakah sebenarnya pandangan pluralisme menurut kelompok yang menyerukan paham ini harus ditanamkan di Indonesia.
Argumentasi Pendukung Pluralisme di Indonesia
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, kita tahu bahwa rasa keberagamaan yang terbuka telah terwujud dalam kehidupan sosial antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi. Mereka membentuk masyarakat yang majemuk, di mana terjadi kerja sama bisnis, hubungan guru murid dalam ilmu, dan kegiatan lainnya yang berjalan normal dan dalam kedamaian. Mungkin inilah yang mendasari adanya romantisme sejarah akan perdamaian antar agama dan akan melahirkan pemaknaan ulang terhadap konsep “pluralisme” dalam Islam, terutama oleh tokoh-tokoh yang setia mendambakan perdamaian, persamaan hak dan demokrasi, serta terbentuknya masyarakat madani yang cinta damai.
Salah satu tokoh di Indonesia, yaitu Alm Prof Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang senantiasa bersemangat untuk memberikan perspektif baru terhadap pemaknaan agama (doktrin), khususnya dalam hal pluralisme di Indonesia. Usahanya dalam memahami dan memahamkan (lewat pemikiran, perdebatan dan karyanya) konsep pluralisme telah melewati batas zaman dan berpengaruh pada kehidupan keberagamaan yang cinta damai di Indonesia.
Masalah dasar pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, yang sering disebut oleh kalangan filsafat perenial sebagai “kesatuan transenden Agama-agama” telah memicu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk “mengharamkan” pemikiran pluralisme. Pengharaman ini tentu saja mengherankan, karena sebenarnya dasar teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden (esoterik, hakikat), bukan imanen (syari’at).
Fatwa MUI ini telah menjadi perdebatan publik kala itu bahkan sampai sekarang, dan hal itu sungguh menjadi kontra-produktif bagi kalangan pendukung pluralisme. Menurut mereka, fatwa ini akan membuat pendangkalan pemikiran Pluralisme sebagai filsafat maupun teologi, yang seharusnya mempunyai banyak interpretasi dari kalangan masyarakat, baik akademisi maupun ulama. Akibat fatwa MUI itu, timbullah kesan seolah-olah pluralisme menjadi pemikiran yang merusak agama, dan bahkan adanya anggapan bahwa konsep itu datang dari Barat dan tidak sesuai dengan Islam. Padahal menurut para pendukung, seperti Cak Nur menganggap bahwa pluralisme adalah fondasi dalam membangun masyarakat yang demokratis dan cinta damai.
Sebagaimana perkataannya bahwa “pluralisme” adalah bagian terpenting dari tatanan masyarakat maju sebagaimana kondisi keberagamaan dan masyarakat di Indonesia. Menurut Cak Nur dan kalangan pendukung lainnya, dalam paham inilah dipertaruhkan, antara lain sehatnya demokrasi, keterbukaan dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Hal ini sejalan dengan (QS. 60: 8).
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Cak Nur melihat masa depan cerah ketika pluralisme mampu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Mengapa demikian?, Dia melihat adanya relasi antara kemajuan dan kemunduran Indonesia dengan Umat Muslim dan “Islam” itu sendiri. Oleh karena itu, suatu kesimpulan sederhana pernah diungkapkan Cak Nur, bahwa tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia, khususnya Muslim, untuk membuat negeri ini maju, makmur, kuat dan modern, demi kehormatannya sebagai “ Bangsa Muslim terbesar di Dunia”, para ahli mengembangkan pluralisme dan demokrasi secara sungguh-sungguh. Lebih lanjut Cak Nur menjelaskan bahwa:
“…Pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”, hanya ditilik dari kegunannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.”
Sebagaimana dia mengutip dalam (QS. Al Baqarah: 251”) “…Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas alam semesta”
Jika kita analisa lebih jauh, tampak Cak Nur berusaha untuk mendasarkan pemikirannya pada konsep teologi, dimana menurutnya pluralisme adalah bagian dari peradaban yang didasarkan pada kesamaan dasar agama-agama. Dimana menurutnya; agama (ad-Dien) esensinya (hakikatnya) adalah sama, akan tetapi berbeda kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia dengan syariat dan manhaj yang berbeda-beda. Perbedaan ini terjadi karena Allah memang menghendaki umat manusia dalam perbedaan yang membawa rahmat dan saling berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan. Sehingga bukan hanya kesatuan yang merupakan esensi agama-agama, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kebaikan bersama.
Jika kita melihat fenomena sosial keberagamaan di Indonesia, konsep pengamalan pluralisme dapat kita lihat pada adanya perbedaan ritus dan simbolisme keagamaan,_bahkan dalam satu agama sendiri ada perbedaan. Mungkin hal ini sejalan dengan gagasan fenomenolog seperti Mircea Eliade, tentang “gagasan tentang Yang Suci”. Dimana setiap masyarakat beragama mempunyai simbol-simbol tentang tempat suci, waktu suci, hari suci dan seterusnya. Lebih lanjut lagi dalam pendekatan sosiologis, pentingnya pengelolaan sosial dan pengertian akan persamaan dan perbedaan agama-agama menjadi argumen dalam memahami dan memahamkan pluralisme terhadap masyarakat. Di sinilah peran dialog untuk menyikapi perbeadaan-perbedaan ini, sehingga tidak terjadi pengklaiman kebenaran mutlak yang akhirnya akan “mengkafirkan” yang lain. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat, pluralisme akan menampilkan sikapnya yang menghargai kebebasan beragama tanpa paksaan, karena seseorang itu benar-benar mencari kebenaran menurut pemahamannya. Karena tidak boleh adanya klaim kebenaran mutlak dalam masyarakat inilah yang membuat masyarakat menjadi terbuka. Keterbukaan adalah kebebasan, dan tentu kebebasan ialah tanggungjawab.
Analisis lebih lanjut adalah ketika kita melihat efek perdebatan ini ke masyarakat secara luas. Diakui atau tidak masyarakat Indonesia adalah sungguh majemuk, selain dibedakan dengan suku, ras dan agama, adanya tingkat pengetahuan masyarakat pun berbeda-beda (bertingkat). Mungkin bagi kalangan akademis, semua itu bisa diperdebatkan. Tetapi kita mengenal istilah “Lay Person” (awam) yang mungkin akan lebih “manut” pada MUI sebagai wadah kalangan ulama yang mungkin “punya kepentingan” terhadap aspek pemerintahan. Tanpa mempertanyakan apa dan bagaimana konsep Pluralisme itu seharusnya berjalan di dalam kehidupan mereka. Demikianlah dinamika pemikiran masyarakat terhadap sebuah fenomena yang mereka tangkap dalam kehidupan sehari-hari.
Argumentasi Penolakan Paham Pluralisme
Pluralisme dalam pandangan masyarakat Muslim diartikan sebagai suatu ajaran yang mengajarkan penerimaan atas perbedaan agama. Dengan perbedaan agama yang beragam ini, maka tidak perlu lagi ummat agama lainnya mempersoalkannya, terlebih lagi dengan menciptakan permusuhan. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai beberapa anggapan mengapa Islam harus menolak ajaran pluralitas.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Demikianlah bunyi ayat yang diyakini Ulama Muslim untuk menolak pokok-pokok ajaran pluralism, Islam meyakini bahwa semua agama samawi sebelum Islam yang dibawakan oleh Rasulullah SAW merupakan bagian dari Islam. Penyempurnaan dari agama-agama tersebut adalah Islam, maka tidak lagi diperlukan pluralism dalam Islam.
Islam adalah agama yang paling akhir muncul di antara agama-agama samawi lainnya, maka Islam sudah terbiasa dengan segala bentuk perbedaan pendapat. Sesungguhnya Islam menerima bentuk dasar pluralism, sebagaimana yang ada pada struktur social masyarakat Muslim awal yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Masyarakat Muslim dapat berdampingan dengan pemeluk agama lainnya, selama membayar Jizyah mereka. Maka, pokok-pokok ajaran pluralism yang menyuarakan toleransi dan perdamaian antar agama sesungguhnya sudah lama terbentuk dalam Islam. Namun satu hal yang perlu disikapi dengan tegas oleh kaum Muslim yakni adanya praktek-praktek pengurangan nilai-nilai pluralisme (reductive pluralism).
Yang dimaksud dengan pengurangan nilai-nilai pluralism adalah, penyelewengan nilai-nilai dasar agama samawi yang menyuarakan konsep ke-Tuhanan yang sama. Tauhid adalah inti kesamaan agama-agama samawi, dan Islam tidak pernah menolak konsep ini, hanya saja penyelewengan nilai-nilai dasar inilah yang telah terjadi dalam Kristen yang pertama kali menyerukan konsep pluralism. Islam tidak akan dapat berdampingan dengan konsep ke-Tuhanan yang banyak ini, karena Islam meyakini bahwa sejak Adam hingga Muhammad SAW menyerukan Tuhan yang Satu.
All of the divinely revealed religions are called Islam in the general sense of complete submission to the commands of Allah, while Islam is used in a specific sense to refer to the final version of Islam (in the general sense) brought by Muhammad. Inilah dasar yang senantiasa digunakan bagi Islam untuk menerima agama-agama sebelum Islam sebagai agama yang sama dengannya, namun Islam tentu saja begitu tegas menilai penyelewengan-penyelewengan nilai ajarannya yang sudah dibawakan sejak Adam AS hingga Muhammad SAW. Dan poin terpenting yang ditentang oleh Islam sejak dulu adalah Polytheism, sedangkan isu pluralism ini pertama kali dibawakan oleh Kristen, yang terlihat sudah menyelewengkan nilai Monotheism menjadi Polytheism. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika ajaran pluralism yang dibawakan Kristen ini sama halnya dengan yang Islam tolerir.
Mencari Titik Temu
Perdebatan mengenai paham pluralisme memang tak kunjung padam. Di satu sisi bagi para kelompok yang menolak paham ini (termasuk di dalamnya MUI) bersikeras—dengan beberapa alasan—bahwa pluralisme bertentangan dengan ajaran agama Islam. Islam jelas menolak bahwa semua agama sama dan benar. Dan semua agama tersebut akan membawa pemeluknya kepada keselamatan dan hidup berdampingan di surga. Tentunya yang dimaksud agama-agama di sini adalah selain agama samawi. Islam sendiri membenarkan bahwa agama yang dibawakan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad adalah agama Tauhid sebagaimana agama Islam. Yang menjadi permasalahan bagi kalangan penolak paham pluralisme adalah ketika agama-agama ardli (Kristen, Budha, Hindu dll) juga merupakan agama yang benar sebagaimana orang-orang Islam meyakini kebenaran agama Islam. Biasanya mereka berargumentasi dengan firman-firman Allah dalam al-Quran yang mereka pahami bahwa hanya Islamlah agama yang benar di sisi Allah.
Sementara bagi kalangan yang mendukung paham pluralisme menegaskan bahwa “pluralitas” adalah merupakan keniscayaan dalam kehidupan. Manusia memiliki perbedaan SARA. Dan dalam sejarah peradaban Islam pluralitas sudah ada bahkan ketika Nabi Muhammad mendirikan Negara Madinah. Piagam madinah adalah bukti konkret atas pengakuan pluralitas yang ada dalam masyarakat Madinah pada waktu itu. Piagam Madinah menjadi sangat begitu penting karena tidak lain adalah untuk menghargai perbedaan yang ada baik agama, suku, ras dan lainnya sehingga kehidupan yang damai dalam masyarakat bisa tercipta. Ini adalah bukti sejarah yang tak terbantahkan bagaimana agama Islam sejak kemunculannya sudah cukup familiar dan begitu menghargai pluralitas. Nah bagi mereka yang mendukung paham pluralisme, menganggap begitu penting paham ini ditanamakan kepada masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang majemuk (ras, agama, suku, dan lainnya) sehingga tercipta kedamaian, saling toleransi, serta menjunjung persamaan hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas sebenarnya apa yang terjadi antara mereka yang mendukung atau menolak paham pluralisme. Tampak sekali terdapat perbedaan di antara mereka. Di satu sisi pluralisme dianggap bertentangan dengan ajaran Islam tapi di sisi yang lain pluralisme sudah menjadi bagian dari sejarah Islam itu sendiri. Tidak bermaksud untuk memberikan sebuah solusi tapi tampaknya dialog merupakan cara yang cukup efektif untuk menyamakan sebuah persepsi tentang paham pluralisme itu sendiri sehingga permasalahannya menjadi lebih jelas dan juga bisa menyelesaikan perbedaan yang ada. Seandainya pun tidak ada kesepakatan—dan memang tidak harus ada sebuah kesepakatan karena masing-masing punya interpretasi yang berbeda-beda dalam masalah agama—kita harus tetap menghargai perbedaan masing-masing. Kebenaran memang ada tapi kita tidak tahu siapa yang benar. Bagaimanapun juga menghargai perbedaan, bersikap toleransi, menjunjung persamaan hak merupakan hal yang sangat penting yang harus diperjuangkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga konflik-konflik yang berbau SARA yang selama ini mewarnai kehidupan bangsa Indonesia bisa dihindari.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia sangat rentan dengan problematika sosial baik perang antar suku, agama, ras, golongan dan lainnya. Untuk mengatasi hal ini maka dibutuhkan suatu pandangan yang mampu mengakomodir segala bentuk perbedaan yang ada. Masing-masing pihak harus mau saling menghargai dan menghormati satu sama lain dan tidak ada yang berhak mengklaim kebenaran mutlak (terutama dalam masalah agama) di satu sisi dan sekaligus menafikan yang lain karena jika hal itu terjadi pasti akan memicu konflik sosial mengingat masalah agama diakui atau tidak merupakan masalah yang paling sensitif. Terlepas dari perdebatan baik yang pro maupun yang kontra terhadap paham pluralisme, pluralitas adalah sebuah keniscayaan dan kita harus menjaga, menghargai, dan mengakui keberadannya demi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis.

DAFTAR PUSTAKA
• Al Qur’an al-Karim terjemahan. Departemen Agama.
• Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Mu’jam Mufahras lil Alfadzu Al Qur’an Al Karim. Dar al-Hadist. Kairo: 2001
• Connolly, Peter L. Approaches to The Study of Religion. Terj “Aneka Pendekatan Studi Agama”. LKIS. Yogyakarta: 2009
• Fathi Osman, Mohamed. Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan. Penerjemah Irfan Abubakar. Yayasan Paramadina. Jakarta: 2006
• Hidayat, Dr. Komaruddin. dan Ahmad Gaus A. F. (ed). 2001. Passing Over, Melintas Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
• http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=137
• Legenhausen, Muhammad. Islam And Religious Pluralism. Al-Hoda. London: 1999.