Clash of Civilization Dalam Perspektif Islam


Abstraksi

Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang surut. Banyak peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir sejarah. Walaupun demikian, tentu masih ada peradaban yang mampu berkembang dengan pesat, mampu beradaptasi dan mempengaruhi kehidupan manusia pada zamannya. Manusia dengan segala potensinya telah membentuk sebuah peradaban baru yang mungkin tidak dibayangkan sebelumnya oleh para nenek moyang mereka.
Akan tetapi peradaban yang telah berkembang itu seakan mendapat ancaman. Sebuah tesis atau tepatnya ramalan telah dilontarkan Samuel P Huntington pada abad ini bahwa pada masa depan akan terjadi benturan antar peradaban. Lebih jauh lagi, dia menjelaskan bahwa benturan itu akan terjadi antara peradaban Barat dan Peradaban Islam. Mungkin ini adalah sebuah ramalan yang fantastis, kenapa tidak, karena fenomena politik global tengah mengarah pada ramalan tersebut. Berbagai persinggungan konflik telah terjadi di beberapa belahan bumi. Bahkan tidak sedikit persinggungan tersebut telah dinodai dengan peperangan dan saling menghancurkan. Adanya hagemoni politik peradaban tertentu semakin memperparah situasi ini, kapitalisme, hagemoni pengetahuan bahkan ideologi Modern (Barat) banyak dipaksakan pada peradaban yang menurut mereka lebih rendah guna membentuk tatanan dunia baru yang mereka inginkan.
Agama sebagai sesuatu yang sangat fundamental seakan menjadi kambing hitam dalam setiap persinggungan ini. Kita dapat mengatakan bahwa “agama adalah ruh dari peradaban” itu sendiri, karena keduanya tidak pernah terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Adanya interpretasi keliru terhadap beberapa doktrin keagamaan telah menambah runyam permasalahan benturan antar peradaban ini. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan baru, munculnya kalangan konservatif yang berusaha melindungi akar budayanya, fundamentalisme ekstrim, bahkan muncul terminologi terorisme yang sungguh merusak peradaban.
Posmodernisme disisi lain telah muncul dalam peradaban itu sendiri. Posmodernisme baik berupa paradigma maupun aspek sosio-cultural tentu tidak tinggal diam terhadap fenomena ini. Akan tetapi, harus kita akui posmodernisme sendiri memiliki sisi positif dan juga negatif. Secara positif Posmodernisme diharapkan mampu meredam konflik tersebut. Atau paling tidak terus berusaha menanyakan secara kritis terhadap setiap fenomena yang terjadi maupun terhadap tesis itu sendiri.
A. Pendahuluan
Sekarang, manusia telah memasuki era moderen, sebuah masa yang ditandai dengan rasionalitas, kemajuan teknologi dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Modernitas telah membawa manusia kedalam sebuah situasi yang sungguh berbeda dari yang mereka bayangkan sebelumnya Bahkan banyak manusia yang fana dan terjun bebas ke dalam kenikmatan yang ditawarkan modernitas sehingga dia lupa pada sisi kemanusiaannya. Hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah paradigma posmodernisme. Zaman pasca modern, inilah yang nantinya akan berusaha mengkritisi adanya pemikiran yang salah pada masarakat modern, atau bahkan mendekontruksi tatanan sosial budaya yang telah tercipta sebelumnya. Posmodernisme inilah yang nantinya menunjukkan wajahnya dihadapan paradigma modern dengan segala usaha kritis dekonstruksinya.
Entah disadari atau tidak banyak tokoh telah merasakan dan bahkan bermain dengan paradigma posmodernisme. Dan salah satu tokoh yang menjadi perbincangan kita adalah Samuel P Huntington, yang dengan tesis “Clash of Civilization” nya telah memancing perdebatan hebat di kalangan akademis, politikus, maupun kalangan agamawan. Boleh dikatakan bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” lahir dan berkembang dalam situasi modernisme Barat dan nantinya akan mendapat berbagai kritikan dari kalangan posmodernisme.
Untuk itulah dalam pemaparan singkat makalah ini kami akan berusaha melihat tesis “benturan antar peradaban” yang diajukan Huntington ini dalam paradigma Posmodernisme. Mungkin disini akan lebih dekat aspek sosiologis dari pada paradigma filosofis karena disadari atau tidak tesis ini telah muncul dalam fenomena sosial politik dunia. Bagaimana postmodernisme melihat semua itu, akan tergantung pada usaha-usaha kita dalam mengkritisi fenomena maupun tesis “benturan antar peradaban “ itu sendiri.
Kemudian yang menjadi fokus kita selanjutnya adalah indikasi adanya ketakutan Barat terhadap Islam, apakah Islam sebagai ancaman Barat? Pertanyaan (ketakutan) ini akan menjadi sangat serius dalam kancah sosio-politik di dunia. Tentu sebagaimana disinggung dalam abstraksi diatas, hal itu muncul atas dasar agama sebagai ruh dari peradaban itu sendiri. Berbagai sangkaan akan muncul diantara kedua peradaban besar ini. “Fundamentalisme” akan selalu mengiringi kedua peradaban di dalam mempertahankan kebenaran (keunggulan) peradaban masing masing. Dan nantinya akan memunculkan “the Clash of Iinteresrest”. Mungkin benar disini, mengapa tesis ini lebih terkesan sebagai upaya propagandis dan spekulatif profokatif dari pada karya ilmiyah yang dapat dipertanggungjawabkan.
B. Tesis “Clash of Civilization” dalam Fenomena Politik Dunia Global
Sejak dipublikasikannya pertama kali melalui Majalah Foreign Afair tahun 1993 dan terlebih setelah dikembangkan menjadi buku dan dialihbahasakan ke dalam puluhan bahasa, tesis “benturan antarperadaban” ala Huntington telah mengundang banyak kontroversi dari dunia internasional. Perdebatan wacana terus bergulir, dialektika pemikiran terus mengalir, hingga sekarang. Banyak kalangan akademis maupun pakar-pakar sosial keagamaan melakukan kritik tajam terhadap tesis ini. Mereka mempertanyakan masalah signfikansi tesis tersebut terhadap sensivitas persoalan agama, budaya dan debat politik yang memanas pasca perang Dingin.1
Kemudian apa sebenarnya yang membuat tesis “the Clash of Civilization” ini begitu kontroversial? Mengapa juga ia dicap sebagai tulisan propagandis, spekulatif dan juga profokatif, yang bagi para intelektual humanis dan agamawan sangat berpotensi mengancam perdamaian dunia. Hal itu tidak lepas dari asumsi dasar yang digunakan Huntington dalam meramalkan masa depan, dimana masa depan politik dunia akan didominasi oleh konflik antar bangsa dan peradaban yang berbeda. Menurutnya sumber konflik dunia di masa datang tidak lagi ideologi dan ekonomi, akan tetapi budaya (peradaban).
Secara lebih luas, Huntington mendasarkan pemikirannya, paling tidak pada enam alasan yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar-peradaban. 2
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak saja nyata, tetapi sangat mendasar. Hal ini dapat kita lihat di berbagai peradaban dunia yang tentu mempunyai akar budayanya sendiri yang berbeda. Kedua, dunia semakin mengecil. Interaksi di antara masyarakat dan peradaban yang berbeda terus meningkat. Semakin interaksi ini berlangsung intensif, semakin menguat kesadaran akan peradaban sendiri dan semakin sensitif terhadap perbedaan yang ada antara peradabannya dengan yang lainnya. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar indentitas lokal yang telah berlangsung lama. Hal ini telah menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalis.” Keempat, semakin berkembangnya kesadaran peradaban (civilization conciousness) akibat peran ganda dunia barat. Dimana di satu sisi dunia Barat sedang berada pada puncak kekuasaannya, disisi lain sebagai reaksi balik atas hagemoni Barat tersebut, kembalinya masyarakat Non Barat pada akar peradabannya. Kelima, karakteristik dan perbedaan kultural yang terjadi di antara peradaban Barat dan Non Barat semakin mengeras. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya kompromi dan upaya-upaya perbaikan hubungan di antara peradaban dalam kerangka kultural dari pada upaya mengkompromikan karakteristik dan perbedaan politik serta ekonomi. Dan keenam, adalah regionalisme ekonomi yang semakin meningkat.
Jika kita lihat lebih jauh, premis-premis yang diajukan Huntington seakan sejalan dengan kritik posmodernisme, akan tetapi dalam wajahnya yang negatif. Dan yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah premis-premis diatas secara otomatis akan melahirkan apa yang disebut dengan ”benturan antar peradaban”... Disini Huntington melakukan dua hal dimana pertama dia memetakan muatan kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban. Dimana dia menyebutkan adanya delapan peradaban besar dunia; Barat, Islam, Konfusius, Jepang, Hindu, Slavik-Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Dan langkah kedua Huntington adalah meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendoiminasi dunia masa depan bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antara Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar yang akan terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam - Konfusius. Bahkan lebih jauh lagi, Huntington sangat berani untuk menentukan musuh Barat adalah perselingkuhan antara Islam dan Konfusionis.
Dari usaha Huntington tersebut, dia berusaha untuk meyakinkan pembacanya bahwa pada dasarnya benturan antar peradaban masa depan akan terjadi karena tiga hal pokok, yaitu adanya hagemoni-arogansi Barat, intoleransi Islam, dan fanatisme Konfusionis.3
Sejak awal, teori “benturan antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan cibiran, daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang fantastis, teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan. Dan hal ini juga bertentangan dengan semangat posmodernisme itu sendiri.
B.1 Paradigma Postmodernisme dalam melihat Kelemahan Tesis Huntington
Setelah melihat fenomena maupun akar tesis bentruan antar peradaban itu, salah seoarang tokoh yang kita kenal seperti Akbar S. Ahmed (1992), adalah salah satu yang tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat. (politik pemerintahan)
Kelemahan lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slav/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika.. Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu.
Selain itu, sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.
B.2. Benturan Antar Peradaban atau Benturan Kepentingan?
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok oposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang 4
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.5
Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Jika dilihat dari kacamata posmodernisme, ada seorang cendekiawan terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri (1999:73). Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interensts).6
Penglihatan posmodernisme selanjutnya adalah pada kepentingan global Barat itu sendiri. Dimana semua itu dilakukan karena semangat dalam mendominasi perekonomian dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti respon Muslim : Dialog atau Melawan Hegemoni.
Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
C. Apakah Islam Sebagai Ancaman Barat?
Menurut Huntington, respon modernisme dunia barat telah melahirkan berbagai karakter yang menjadikan barat mendominasi perkembangan peradaban dunia. Kapitalisme ekonomi yang barat lancarkan pada dunia, menjadikan barat ingin mendominasi dunia dengan hegemoni-arogansinya. Tentu saja hal ini tidak akan berjalan begitu saja, tanpa adanya respon dari negara-negara lain. Negara-negara yang berbasiskan pada ajaran Islam, dalam hal ini begitu besar responnya atas langkah-langkah barat dalam memanipulasi hubungan antar negara dunia. Maka dari sinilah Huntington menilai, bahwa agama akan menjadi pemicu utama perdamaian dunia kelak, khususnya barat yang diwakili oleh doktrin Kristen dan negara-negara timur tengah yang diwakili oleh Islam.
Invasi barat pada perkembangan peradaban negara-negara dunia, secara tidak langsung telah menciptakan kapitalisme ekonomi. Dalam hal ini barat selaku dominator dunia, mengklaim dirinya sebagai polisi dunia yang mengatur jalannya perdamaian dunia. Sebagian besar negara menerima begitu saja klaim ini, namun tentu saja masih ada sebagian negara lain yang tidak menerimanya. Benturan ini tidak mungkin terjadi begitu saja, Huntington melihat bahwa fenomena ini terjadi bukan dari sekarang, melainkan sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, dan agama adalah faktor utama penyebabnya. Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama besar yang sudah berseteru sejak dahulu kala, demikian adanya, namun dirasa Yahudi tidak begitu besar perannya dalam hal ini. Perang Salib dianggap sebagai pemicu utama persaingan ke-dua agama ini yang berakhir pada gerakan-gerakan Fundamentalisme.
Fundamentalisme yang terjadi dalam Kristen dirasa tidak semaju yang terjadi dalam Islam. Sekularisme dan Modernisme dianggap sebagai hambatan terbesar dalam ajaran Fundamentalisme dalam Kristen, akhirnya Negara-negara barat yang memiliki kecenderungan pada pelepasan atribut-atribut keagamaan dalam meraih kesejahteraan hidup, kemudian melakukan gerakan-gerakan yang bersifat politis dan ekonomis. Berbeda dengan Fundamentalisme yang dianut Islam, gerakan ini dianggap telah berhasil dalam kubu Islam sendiri, namun sebagai kesatuan warga dunia, sebagian sekte yang ada dalam Islam tidak dapat menerimanya. Mereka menganggap bahwa dunia ini harus dibersihkan dari pesan-pesan peradaban barat yang dianggap tidak sesuai dengan kemanusiaan, khususnya dalam bidang moral. Kemudian, dari sinilah muncul clash of civilization.
Perbedaan dalam menafsirkan fundamentalisme yang ada pada sebagian sekte dalam Islam inilah yang menimbulkan gerakan-gerakan radikalisme bawah tanah, yang pada akhirnya menggunakan Jihad sebagai asasnya. Padahal, jika kita pelajari lebih lanjut, Jihad tidak pernah mengajarkan masyarakat Muslim sendiri untuk menyerang, namun Jihad mengajarkan kaum Muslimin untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Pemahaman sektarian ini ternyata menjadikan citra Islam buruk di mata dunia khususnya barat, padahal Islam tidak hanya terdiri dari mereka saja, namun masyarakat Muslim secara keseluruhanlah yang menerima getahnya.
Tidak hanya itu, kita juga patut menilai tindakan kapitalisme serta dominasi dunia barat yang menginterfensi komunitas masyarakat Muslim secara sepihak, tanpa menghargai nilai-nilai ke-Islamannya. Atas tindakan barat ini, menjadikan masyarakat Muslim yang tidak bersalah melakukan pemberontakan. Upaya-upaya pemisahan diri dari kebijakan negara-negara barat khususnya Amerika, merupakan bentuk protes keras Islam pada barat. Sebagaimana yang kita lihat pada sebagian Negara Islam seperti; Irak, Iran, Yaman, dll. Tetapi tidak hanya berhenti sampai sini saja, protes Negara-negara Islam ini dianggap oleh barat sebagai langkah permusuhan, pada kenyataannya barat tidak menyadari kesalahan-kesalahannya sebagai salah satu anggota Negara dunia yang telah melakukan penilaian sepihak. Dari sini, dapat kita lihat isu-isu yang pada awalnya bersifat keagamaan, kemudian bertransformasi pada isu-isu politis. Dari sini dapat kita nilai, bahwa anggapan sepihak Huntington tidaklah sepantasnya, karena dia melakukan penilaian sepihak tanpa mempelajari lebih lanjut sumber permasalahannya.
Penutup
Setelah kita mengeksplorasi apa sebenarnya tesis “benturan antar peradaban” yang diramalkan Huntington, kita mendapatkan beberapa pemahaman maupun kesimpulan. Tesis “Clas of Civilization” bagaimanapun juga telah berbicara dalam konteks internasional dan bahkan mendatanghkan berbagai kritik maupun dukungan. Dimana tesis itu muncul tidak dalam ruang hampa, akan tetapi mempunyai maksud dan tujuan dibalik itu semua, apakah secara subjektif atau ada interfensi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Walaupun begitu, kita sebagaimana wajah posmodernisme positif harus berusaha untuk selalu kritis dalam melihat setiap fenomena sosial politik yang mungkin muncul karena tesis tersebut atau respon terhadapnya.
Sebagai seorang akademisi Muslim, sepantasnya kita bersikap kritis terhadap tesis tersebut, dimana masih terdapat kelemahan-kelemahan sebagaimana diungkap Akbar S Ahmed dalam pembacaannya dan tokoh lainnya. Dan tentu terhadap fenomena-fenomena yang telah tercermin dalam kehidupan sosial politik dunia. Fundamentalisme maupun bentuk perlawanan lainnya juga dilahirkan dalam konteks mempertahankan pandangan mereka akan kebenaran peradaban masing-masing. Dan dalam kasus keagamaan, fundamentalisme maupun radikalisme muncul karena perlawanan terhadap adanya interfensi maupun hagemoni yang terjadi dalam proses persinggungan peradaban-peradaban dunia. Disini agama (Islam) menjadi faktor penting dalam memainkan perannya, ketepatan dan kebenaran interpretasi terhadapnya sangat dituntut disini.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung. Mizan. 1996
Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, Jakarta : Alvabet, 2002
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperalisme Abad 21, penj. Agung Prihantoro, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002
Mohammad Abed al-Jabiri, Islam, Modernism and the West, dalam Mun’in A Sirri, “Membangun Dialog Peradaban : Dari Huntington ke Ibn Rusyd”, Kompas 22 Januari 2002
Samuel Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , penj, M. Sadat Ismail, Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2006, cet x
http://pemikiranislam.wordpress.com