Aristoteles, Kant, dan Hegel; Berdebat Etika!


Pendahuluan
Manusia dinilai sebagai makhluk yang paling sempurna, penilaian tersebut tentu tidak datang begitu saja. Manusia memiliki rasio dan intuisi sebagai dua anugerah yang membedakannya dengan makhluk lain. Ke-duanya memiliki fungsi dan bidang spesifikasi masing-masing yang pada akhirnya juga menghasilkan penilaian yang berbeda pula. Akal dengan sistem berpikirnya yang kompleks dan penuh dengan rentetan sebab-akibat, intuisi dengan berbagai kemampuan perasanya yang memberikan pertimbangan non-logis pada manusia sebagai bahan pertimbangan yang lebih besar.
Moral atau etika dinilai sebagai satu kajian yang patut kita kaji, untuk memberikan pemahaman yang lebih baik atas segala tindakan yang kita lakukan. Demikian pula dalam filsafat, moral tidak akan keluar sebagai objek studi tanpa dasar, yang mempengaruhi kita begitu saja tanpa pertimbangan serta alasan yang matang. Dalam tulisan ini akan disajikan pemikiran-pemikiran dasar dari tiga tokoh filosof yang memiliki pandangan mengenai etika. Dari tulisan ini akan dipaparkan pula berbagai kritik serta argumentasi terkait pembahasan ini dan mudah-mudahan dapat bermanfaat.

Abstraksi
Aristoteles adalah salah satu filosof generasi awal warisan zaman Yunani kuno, namun dirasakan pengaruhnya yang begitu besar bagi dunia pemikiran bahkan hingga dewasa ini. Begitu banyak karya yang Aristoteles wariskan pada murid-muridnya yang pada akhirnya sampai ke tangan kita untuk dikaji. Nicomachean adalah salah satu karyanya dalam bidang etika, dan dalam tulisan ini akan disajikan sedikit pikiran-pikiran pokoknya dalam tulisan tersebut yang nantinya akan kita bandingkan dengan dua pemikir Jerman kawakan lainnya.
Emanuel Kant dan G. W. F. Hegel adalah dua filosof asal Jerman yang dinilai begitu besar pengaruhnya bagi perkembangan pemikiran di dunia filsafat. Emanuel Kant yang dinilai sebagai bapak pencetus etika di barat, memiliki butir-butir pemikirannya tersendiri yang nantinya akan kita berikan telaah kritis atasnya. Tidak seperti Kant yang mengupayakan etika sebagai

penilaian rasional, Hegel akan memberikan argumentasinya atas anggapan tersebut. Menurut Hegel, bukanlah akal yang sepatutnya memberikan penilaian bagi tindakan moral seseorang melainkan hatinya yang lebih pantas. Alhasil, akan kita lihat lebih lanjut dalam paparan tulisan di bawah, manakah yang lebih berpengaruh?

Aristoteles
Nicomachean, ialah karya klasik yang dipersembahkan Aristoteles bagi masyarakat. Karya ini berisi etika dalam perspektif Aristoteles sendiri. Pada pemaparan etika menurut Aristoteles, kita akan menggunakan buku ini sebagai acuan utama. Dalam karyanya, Aristoteles memulai pembahasan etikanya dengan ‘yang baik’, kita ketahui penilaian baik dan buruk merupakan dua hal yang paling sering dibicarakan dalam etika. Penilaian baik dan buruk sendiri datang dari penilaian manusia sebagai makhluk rasional, namun sering kali penilaian ini juga membuat kabur nilai tersebut, maka diharapkan melalui pembahasan di bawah akan kita pahami apa yang sesungguhnya Aristoteles sajikan.
Filosof dan Sofis adalah dua kelompok yang berbeda namun tampak serupa dalam sejarah klasik Yunani. Jika kita berusaha membedakan keduanya, kita akan dapati bahwa keduanya bertolak belakang dalam pemetaan ‘tujuan kebaikan’. Bagi kaum Sofis, kebaikan hanya ditujukan bagi penguasa dan orang-orang yang memiliki harta, sedangkan para Filosof berjuang keras untuk memberikan kebaikan bagi predikat yang seharusnya memperoleh label tersebut. Setiap tindak perbuatan manusia pasti diawali oleh awal dan tujuan, demikian pula Aristoteles memulai pembahasan mengenai ‘yang baik’ ini.
Aristoteles menilai bahwa inti dari setiap perbuatan terletak pada tujuan perbuatan tersebut, bukan pada aspek lainnya. Sebagaimana hadits yang senantiasa Rasul SAW ucapkan: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Dari sini dapat kita nilai bahwa inti yang harus kita peroleh dari diutusnya seorang Muhammad bukanlah pada sebab pengutusannya, melainkan dari tujuannya yang sebagai pembimbing akhlak manusia. Aristoteles menyampaikan suatu kesimpulan, yang baik oleh karenanya didefinisikan dengan tepat sebagai sesuatu di mana semua hal mengarah ke sana. Dari ungkapan tersebut, Aristoteles sebagai Filosof dapat kita lihat, dirinya berusaha menepis segala kemungkinan manipulasi kebaikan oleh kaum Sofis. Menurutnya, suatu yang baik harus memiliki suatu nilai absolut yang tidak memihak. Kebaikan dinilai sebagai titik temu, yang menghubungkan kebaikan konseptual dari setiap hati manusia, tidak terbatas oleh suatu kepentingan dan semua lapisan masyarakat senantiasa mengarah padanya.
Kebaikan dinilai sebagai poin universal yang menghubungkan semua keinginan manusia, namun kita lihat dalam realitas, setiap manusia melakukan aktifitas masing-masing demi mencapai kebaikan individual mereka. Dari ungkapan tersebut dapat kita peroleh suatu kesimpulan yakni ada banyak kebaikan. Dari kebaikan yang banyak tersebut Aristoteles berusaha mencari titik temunya, menurutnya pastinya ada kebaikan tertinggi yang dapat menyatukan setiap kebaikan yang diinginkan manusia. Kecerdasan, kecantikan, kehormatan, menurut Aristoteles adalah bentuk partikular dari segala kebaikan, namun semua orang menginginkannya. Dari sinilah Aristoteles menyatukan premis tersebut dalam suatu yang disebut ‘kebahagiaan’, atau suatu kebaikan utama yang mencukupi setiap kebutuhan manusia. Inilah bentuk kebaikan yang tertinggi dan final. Tidak hanya sebagai konsep, hal ini juga terpatri dalam setiap individu, serta menjadi tujuan bagi setiap manusia.
Dalam pembahasan lebih lanjut Aristoteles menjelaskan mengenai keutamaan. Keutamaan adalah semacam ‘kebijaksanaan’ dalam bahasa kita, di sini Aristoteles memetakannya dalam dua jenis; keutamaan intelektual (keutamaan yang melalui pembelajaran) dan keutamaan moral (keutamaan yang melalui kebiasaan moral). Kebahagiaan dinilai sebagai kebaikan tertinggi, namun hanya mencukupi untuk pelakunya. Di sinilah peran keutamaan sebagai upaya pencapaian kebahagiaan ini agar dapat menjadi seluas mungkin dan dapat dirasakan orang lain sebanyak mungkin. Melalui keutamaan inilah nilai sebuah kebaikan individual dapat berubah menjadi yang universal, dan untuk mencapainya seseorang harus mengenal dua pengelompokan keutamaan tersebut di atas.
Manusia akan cenderung bergerak menuju kesenangan dan menjauhi kesusahan masing-masing. Dua hal tersebut adalah poin utama yang menjadi penghalang seseorang untuk mencapai keutamaan. Karena kesenangan manusia tidak dapat memperoleh keutamaan tertingginya, keberadaan ego berperan kental dalam diri untuk mereduksi makna keutamaan. Melalui kesusahan manusia terhalangi untuk mencapai keutamaan tertingginya, karena mereka akan melupakan kepentingan orang banyak untuk menyelesaikan kepentingan mereka sendiri. Dari sinilah Aristoteles mengangkat ungkapan gurunya Plato yang mengajarkan, orang harus dididik sejak kecil untuk merasakan kesenangan dan kesusahan pada tempatnya.
Ketika seseorang mulai peduli pada keutamaan yang lebih besar, ia akan mulai berpikir untuk memperoleh keutamaan setinggi mungkin. Cara yang dipikirkan setiap orang tidak menyangkut suatu tujuan, melainkan cara untuk mencapai tujuan yang tertinggi. Sebuah cara yang tidak merugikannya, paling cepat untuk sampai pada tujuan, dan hasilnya sebaik mungkin. Hal ini Aristoteles sebut sebagai pertimbangan. Seorang pilot, tidak akan memikirkan mengenai tujuan penerbangan yang akan ditujunya serta para penumpang pesawat, melainkan ia akan memikirkan bagaimana menerbangkan pesawat dengan baik serta mencapai tujuan penerbangan secepat mungkin dengan selamat. Inilah yang Aristoteles sebut sebagai pertimbangan, di mana cara menjadi poin utama tercapainya suatu keutamaan untuk orang banyak.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa kesenangan dan kesusahan adalah faktor penghambat manusia untuk memikirkan keutamaan, Namun, di antara keduanya kesenangan dinilai lebih dominan dari pada kesusahan, karena fitrah manusia akan mengarahkan dirinya pada kesempurnaan, sedangkan kesenangan merupakan salah satu atribut kesempurnaan. Pengaruh atas kesenangan dalam kehidupan manusia ini akhirnya mengantarkan kita pada dua pandangan yang bertentangan; pandangan yang menyatakan kesenangan sebagai yang baik dan pandangan kesenangan sebagai yang buruk.
Ada sekelompok orang yang meyakini bahwa kesenangan adalah suatu yang baik. Mereka berpendapat demikian didasarkan alasan yang menyatakan; segala tindangan yang manusia lakukan adalah semata-mata untuk mencapai kesenangan mereka. Jika hal ini terjadi maka kesenangan adalah sebagai suatu tujuan, suatu hal yang dituju adalah suatu yang baik sebagaimana definisi kebaikan di atas. Tetapi apakah setiap upaya kebaikan yang ditujukan setiap orang akan memberikan kebaikan yang serupa bagi orang lain? Inilah hambatan besar bagi pandangan ini, seorang pencuri pada saat bersamaan dirinya telah memberikan suatu kebaikan memberi nafkah bagi keluarganya, namun ia juga merugikan orang lain yang berarti kesusahan bagi pihak yang dirugikan.
Ada kelompok lain yang beranggapan bahwa kesenangan adalah hal yang buruk. Pandangan ini mendasarkan argumennya pada adanya derajat dalam kesenangan. Jika ada derajat dalam kesenangan (kebaikan yang lebih tinggi), hal tersebut akan berakibat hal yang serupa bagi keadila serta aspek-aspek pendukung keutamaan. Hal ini tidak dapat dibiarkan terjadi, karena untuk menjaga universalitas sebuah keutamaan, harus ada standar yang pasti dan bukan yang relatif. Tetapi jika hal ini dibiarkan, kita telah melakukan pelanggaran nilai sebuah kesenangan sebagai suatu nilai yang diinginkan setiap manusia. Jika setiap kesenangan dinilai buruk, maka sesungguhnya manusia mengarah pada keburukan, dan hal ini tidak dapat dibiarkan terjadi.
Berdasarkan dua pandangan di atas Aristoteles memberikan komentarnya yang akan mengantarkan kita pada kesimpulan pandangan Aristoteles. Aristoteles menetapkan dirinya pada analisa inderawi yang masing-masing indera akan merasakan perolehan inderawi yang berbeda menurut kadar masing-masing. Tiap indera memiliki derajat kebenaran yang berbeda pula, tetapi setiap indera tersebut bukan berarti salah dalam menyampaikan kebenaran pada akal kita, hanya saja caranya yang berbeda-beda. Setiap indera memiliki cara yang berbeda untuk menyampaikan kebenaran, tetapi bukan berarti kebenaran ini salah.
Pandangan Aristoteles yang demikian ini dapat kita asumsikan dengan pandangan etika relatifisme. Pandangan ini menyatakan bahwa bagaimanapun cara yang berbeda dalam setiap kebudayaan untuk menyampaikan pesan moralnya, mereka tetap memiliki satu kesamaan yakni usaha untuk menyampaikan suatu tindakan dan ekspresi moralnya. Upaya Aristoteles memberika rumusan ini saya nilai sebagai langkah awal yang baik menilai sebuah tatanan etis yang mendasarkan pada sebuah sistem awal dan tujuan. Karena melalui sistematisasi yang demikian, realitas moral yang telah menyimpang (pada zaman Aristoteles) dapat diperbaiki dan tidak lagi bergantung pada penilaian oknum-oknum berkepentingan. Walaupun relatifisme menjadi acuannya, namun kondisi sosial masyarakat saat itu hanya dapat menerima tatanan yang demikian adanya.

Emanuel Kant
Aristoteles yang kerap mengadopsi penilaian-penilaian eksternal (masyarakat) atas etikanya, Emanuel Kant menolak hal itu. Menurut Kant, etika harus memiliki landasan sendiri yang tidak tergantung oleh penilaian masyarakat, sehingga memiliki satu kejelasan yang tidak dapat diubah-ubah. Menurut analisisnya, Kant menyatakan jika segala penilaian moral kita sandarkan atas penilaian masyarakat, maka tidak ada lagi kebaikan yang absolut dan semuanya menjadi suatu kebaikan yang bersifat terbatas. Jika hal ini dibiarkan begitu saja terjadi, maka tidak ada lagi nilai universal terhadap yang baik maupun yang buruk.
Berbeda dengan Aristoteles yang ingin mempertahankan nilai relatif sebuah sistem moral dalam masyarakat, Kant justru ingin menegakkan keabsolutan sebuah sistem moral sehingga dapat berlaku di semua tempat. Bagi Kant segala kebaikan itu terbatas, bahkan dapat disalah gunakan oleh yang menggunakannya, kecuali kehendak baik saja yang tidak bergantung pada sang pelaku. Kehendak baik akan senantiasa mengarah pada apa yang seharusnya mendapat label sebagai yang baik, hal ini berbeda dengan pengetahuan, harta, kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang dapat diarahkan pada yang baik maupun yang buruk berdasarkan keinginan yang memilikinya.
Kant merumuskan, ketika seseorang melakukan suatu tindakan berdasarkan kehendak baik yang dimilikinya, pada saat itu dirinya telah bertindak berdasarkan kewajibannya juga. Dari pernyataan ini dapat kita lihat, penghormatan seorang Emanuel Kant pada nilai-nilai kewajiban. Menurutnya, kewajiban adalah kepanjangan dari kehendak baik itu sendiri sebagai langkah praktis atas kehendak yang baik tersebut. Hanya saja, ketika seseorang melakukan kewajiban berdasarkan apa yang ia yakini dalam hatinya, berarti pada saat itu telah melakukan tindakan yang memiliki nilai moral di dalamnya. Namun, ketika seseorang melakukan kewajibannya hanya sebatas mentaati aturan yang berlaku, nilai perbuatannya hanya sekedar menjadi pemenuhan atas legalitas bagi aturan yang ada. Dari sini dapat kita lihat lebih lanjut bahwa nilai moral dari suatu tindakan bagi Kant, dilihat melalui kewajiban yang dimiliki seseorang.
Definisi kewajiban bagi Kant adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum. Menurut Kant, hukum adalah nilai dasar sebuah tatanan moral. Kita dapat melihat kebermoralan seseorang hanya dari aturan yang berlaku dalam satu sistem masyarakat. Menurutnya, hukum adalah satu bentuk etika yang telah dirumuskan dalam masyarakat, hukum telah dibuat melalui pertimbangan-pertimbangan rasional sekelompok masyarakat, maka kita wajib mematuhinya terlepas itu berangkat dari dalam hati maupun dari sebuah keterpaksaan.
Kant adalah seorang yang rasional, oleh karena itu sistem moral yang ia buat juga demikian serta mengikat. Jika aturan yang telah ditetapkan menyatakan membunuh itu buruk, maka seorang yang berkewajiban harus mematuhinya walaupun ia dalam keadaan yang genting sekalipun. Jika ia mematuhi aturan tersebut sebatas ketaatannya ia persembahkan demi menjaga sistem moral tersebut, tindakannya ini tidak mengandung nilai moral dan tidak juga buruk. Namun, ketika ia mematuhi aturan berdasarkan hatinya, baru ia memperoleh label sebagai orang bermoral.
Kant menjabarkan sistem etikanya melalui berbagai prinsip, yang pertama adalah prinsip hukum umum. Prinsip tersebut berbunyi, “Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum.” Maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, artinya prinsip individual yang dimiliki setiap orang. Kant berpendapat bahwa, maksim yang kita miliki harus disepakati oleh semua orang terlebih dahulu, barulah kita dapat menggunakannya untuk diri kita. Karena pada saat yang sama, maksim tersebut akan menjadi suatu hukum, dan syarat bagi sebuah maksim ialah harus bisa dilakukan oleh semua orang. Tetapi hal ini tidak dapat kita terima begitu saja, sebuah maksim umumnya akan muncul pada diri seseorang ketika ia berada dalam keadaan genting. Jika kita mempertaruhkan nyawa semata-mata demi menunggu kesepakatan semua orang terlebih dahulu, maka kita akan kehilangan fungsi sebuah maksim. Sebuah maksim akan berguna ketika mengalami praktik terlebih dahulu, sebuah praktik tidak akan pernah terjadi jika kita menunggu persetujuan semua orang terlebih dahulu, maka hal ini tidak masuk akal.
Prinsip kedua dari Kant adalah prinsip hormat terhadap person. Prinsip ini berbunyi, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam personmu atau di dalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan semata-mata sebagai sarana belaka.” Pesan utama hukum ini adalah larangan bagi semua orang untuk menjadikan seseorang sebagai alat untuk memenuhi keinginan kita sendiri. Kant mengajarkan di dalam diri kita maupun orang lain, terdapat diri kita di dalamnya. Maka masyarakat sesungguhnya adalah sebuah sistem kesatuan. Untuk menjaga kesatuan ini, kita harus menjaga kesetaraan person dengan menghormati orang lain, dan salah satu cara terpenting untuk menjaganya ini dengan tidak memperalat sesama. Namun, bagaimanakah koridor-koridor yang Kant maksud dengan memperalat sesama tersebut? Kita ketahui adanya perbudakan sebagai warisan kebudayaan masa lampau yang tidak pernah dihapuskan hingga saat ini. Penghapusan atas perbudakan akan menghasilkan permasalahan besar, yakni semangat kepemimpinan secara masal. Tanpa adanya yang dipimpin tidak akan ada pemimpin, dan jika hal ini dibiarkan terjadi maka tidak akan terbentuk satu sistem kesatuan masyarakat.
Prinsip ketiga yang Kant tawarkan adalah prinsip otonomi menyatakan bahwa, “Kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga kehendak … mewujudkan dirinya sebagai yang membuat hukum umum.” Prinsip ini mengajarkan bagi setiap manusia untuk menjadikan hukum yang ia buat sebagai hukum umum yang berlaku pada orang lain pula. Awal yang salah, akan menghasilkan konsekuensi yang salah pula. Demikian yang terjadi pada kant, dasar hukum rasional telah menjadikan aturan-aturan yang ia ajukan melanggar hukum rasional sendiri. Permasalahan etika bukanlah suatu permasalahan yang mudah dan dapat dirumuskan melaui rasio semata, peran hati lebih dominan dari peran rasio di dalamnya. Jika suatu hukum yang diberikan seseorang diupayakan agar menjadi hukum umum, permasalahannya ada dalam penilaian manusia yang terbatas. Konsekuensi yang terjadi dalam tatanan masyarakat adalah relatifitas yang terjadi dalam sebuah susunan undang-undang manusia yang kerap akan kesalahan dan memerlukan proses perbaikan. Suatu maksim personal tidak akan pernah menjadi hukum umum karena setiap manusia memiliki penilaian masing-masing berdasarkan kemampuannya, kita tidak pernah tahu penilaian mana yang terbaik terhadap diri kita. Yang paling tahu akan diri kita adalah diri kita sendiri, maka tidak sepatutnya kita menggantungkan tindakan moral kita hanya berdasarkan kecocokan dengan yang lain semata.
Hati dinilai alat yang paling cocok dalam melakukan pertimbangan etis yang terbaik, namun Kant telah melupakannya. Semangat rasionalisme pada awal perkembangan filsafat modern Barat telah menjadikan mereka lupa pada asalnya, bahkan menutup kemampuan fitrah mereka hanya demi penilaian rasional yang semu. Tidak hanya itu, fatalnya mereka menggunakan penilaian rasional tersebut ke dalam permasalahan yang tidak dapat dinilai oleh akal. Saya nilai Kant justru pada awal pembicaraan ingin menetapkan nilai absolut suatu sistem moral, justru pada akhirnya ia mereduksi sistem tersebut hingga kehilangan otoritas otonominya sendiri. Tidak sepatutnya jika kita menilai sesuatu berdasarkan suatu sistem aturan. Aturan ialah produk manusia, maka sepatutnya aturan tersebut mengikuuti kebutuhan manusia, bukanlah sebaliknya yang membatasi manusia pada sebuah aturan.

G. W. F. Hegel
Hegel memulai pembahasan mengenai moral dengan ungkapan, “Tindakan (harus) hanya berlaku, sejauh tindakan itu ditentukan oleh saya secara internal; jadi, sejauh tindakan itu menjadi rencana dan maksud saya.” Berbeda dengan Kant yang begitu membatasi tata sistem moral dengan hukum yang relatif, Hegel justru memulai pembahasan mengenai moral dengan suatu statemen yang begitu pribadi. Hegel menyatakan demikian sebagai tanggapan atas rumusan etika Kant yang justru dinilai menghilangkan nilai otoritas pribadi seseorang mengenai yang baik dari bahasa Aristoteles atau moral yang paling pribadi bagi seseorang. Menurut Hegel, alih-alih Kant mengungkapkan prinsip otonomi sebagai landasan etika yang sangat pribadi, justru Kant telah membatasi manusia pada sudut yang dapat dikatakan titik nol (tanpa otoritas menentukan arah).
Hegel berpendapat, manusia memiliki otoritas penuh atas dirinya dan menentukan mana yang terbaik pada dirinya. Jika kita bandingkan antara Aristoteles, Kant, dan Hegel justru Kant yang paling meniadakan peran manusia dalam sistem moral. Moral atau etika adalah suatu budi pekerti yang dinilai baik bagi dirinya sendiri, namun kemudian menjadi suatu sistem universal yang dirasakan oarang lain sebagai suatu yang baik, agaknya itulah itulah yang saya maksud dengan moral. Karena moral tidak patut kita sebut melainkan berangkat dari pribadi diri yang paling dalam. Namun Kant telah menghilangkan otoritas pribadi tersebut dan menggantinya dengan sebuah sistem aturan yang memerlukan kesepakatan masyarakat terlebih dahulu. Demikian pula Hegel berpendapat demikian dengan menggambarkan apa yang ia maksud dengan prinsip otonomi menurutnya yang kontras berbeda dari konsep milik Kant. Hegel adalah seseorang yang mendasari pikirannya dengan konsep ke-Tuhanan, berbeda dengan kant yang rasional, inilah yang menjadikan mereka berbeda.
Bagi seorang Hegel, hati adalah pengalaman yang paling pribadi serta memberikan kebenaran apa adanya, karena manusia tidak akan pernah mencelakai dirinya sendiri, demikian pula sugesti yang hati berikan pada kita. Seorang yang memiliki otonomi atas dirinya, menurut Hegel, akan mempertahankan pencapaian pribadinya. Menurut setiap orang apa yang ada dalam hatinya adalah yang terbaik baginya, segala upaya yang menghalanginya tentu saja akan ia tentang, bahkan aturan-aturan bersama yang merugikan dirinya ia nilai sebagai penghambat.
Dalam ungkapannya Hegel berkata, “Karena manusia ingin dinilai berdasarkan penentuan dirinya, maka ia dalam hubungan dengan ini adalah bebas, kendati keadaan berbagai ketentuan lahiriah. Tidak mungkin kita memaksa masuk ke dalam keyakinan manusia itu; ia tidak dapat diperkosa; dan oleh karena itu, kehendak moral tidak dapat dimasuki. Nilai manusia ditentukan berdasarkan tindakannya yang batin, dan dengan demikian titik tolak moral merupakan kebebasan yang memahaminya sendiri.” Hal ini Hegel ungkapkan sebagai kritik atas kant. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa moral tidak akan dapat dikatakan dengan moral jika tidak memiliki kebebasan dari penilaian, suatu tindakan moral bergerak melalui kebebasan dari segala bentuk tekanan (atas kesadaran diri), yang kemudian dianggap manfaatnya telah meluas kepada individu yang lain.
Penilaian moral bukan melalui rasio, melainkan melalui hati yang berbicara. Jika kita ambil suatu contoh tindakan seorang laki-laki muda yang berdiri memberikan tempat duduknya bagi seorang kakek tua sebagai tindakan moral adalah benar adanya, namun jika kita katakan penilaian itu datang dari akal tidak dapat kita benarkan. Akal akan menyatakan tindakan anak muda tersebut bukanlah tindakan yang tepat berdasarkan prinsip keadilan, jika sang kakek menginginkan tempat duduk tidak sepantasnya ia masuk ke dalam kendaraan yang demikian penuh. Seharusnya sang kakek menunggu kendaraan lain yang kosong, sehingga ia memperoleh tempat duduk. Hati memiliki penilaian yang berbeda, ia akan memberikan pertimbangan-pertimbangan non-rasional untuk merasakan ketidak berdayaan sang kakek hingga menggugah kesadaran laki-laki tersebut untuk berdiri. Demikianlah dua langkah yang jauh berbeda dari cara kerja akal dan hati untuk memberikan penilaian.

REFERENSI
Aristoteles. Nicomachean Ethics. Teraju. Jakarta. 2004
Tjahjadi, Simon Petrus L. Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan. Kanisius. Yogyakarta. 2007.

0 komentar: