Awal Kepemimpinan Dalam Islam; Analisis Sejarah

Pendahuluan
Islam memiliki cakupan pembahasan yang begitu luas, diantaranya politik. Kita ketahui bahwa politik merupakan salah satu aspek yang begitu penting bagi jalannya roda da’wah Islam. Dalam tulisan ini akan diutarakan sekelumit permasalahan sejarah kepemimpinan pasca Rasul SAW wafat, serta problematika yang dihadapi umat kemudian. Dua golongan besar, Sunni dan Syi’ah merupakan dua kelompok yang berseteru terkait permasalahan ini bahkan sejak wafatnya Rasul SAW sendiri. Selain itu dalam tulisan ini juga akan diutarakan karakter-karakter kepemimpinan sunni yang ditinjau dari konsep kepemimpinan syi’ah, serta relevansinya dalam kehidupan. Maka dalam tulisan ini akan lebih bersifat komparatif subjektif ketimbang pengajuan objektif dari poin yang dibicarakan (karakter dasar politik sunni).

Sejarah Singkat
Pasca wafatnya Rasulullah SAW sejarah mencatat hanya ahl al-bayt (keluarga rumah tangga ke-Nabian) dan sahabat Salman al-Faritsi saja yang mengurus pemandian serta penguburan jenazah Rasul SAW. Ketika prosesi itu berlangsung, di waktu yang sama terjadilah sebuah pertemuan di sebuah tempat bernama Saqifah oleh beberapa kaum Anshar. Tidak hanya kaum anshar, dalam pertemuan itu juga ada

enam orang dari golongan Muhajirin, mereka adalah; Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah, Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Salim maula Abu Hudzaifah. Mereka berkumpul tidak lain hanya untuk membicarakan hak kepemimpinan selepas Rasul SAW wafat.
Dalam pertemuan saqifah terjadi berbagai perdebatan, masing-masing di antara dua kelompok ini mengutarakan kelebihan mereka. Bagi anshar, hak kepemimpinan hanyalah di tangan mereka, pikirnya tidak ada yang paling besar menyumbangkan kemenangan bagi Islam semasa Rasul SAW melainkan golongan anshar. Setelah Rasul SAW hijrah-lah Islam mengalami perkembangan di Madinah, bahkan Mekkah yang pada akhirnya tunduk kepada Rasul SAW setelah sebelumnya mencampakkan beliau. Sedangkan bagi kaum muhajirin, masyarakat arab tidak akan tunduk pada seorang pemimpin yang bukan dari golongan Quraisy, mereka yakin bahwa kaum quraish adalah sebaik-baiknya kaum, hal ini ditinjau dari keutamaan serta kedudukan sosialnya yang terpandang serta terjaga pada masyarakat arab. Dalam pertemuan tersebut muncul sebuah gagasan dari anshar agar masing-masing golongan mengajukan seorang pemimpin dari anshar, serta seorang yang lain dari muhajirin. Namun, para muhajirin menginginkan kebulatan suara yang satu di antara dua kaum ini.
Dalam suasana perdebatan yang semakin memanas, Basyir bin SA’ad al-Khazraji berdiri dan berkata: “wahai kaum anshar, kita kaum anshar telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh kehormatan Allah SWT. Kita tidak mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum muhajirin, dan layaklah sudah apabila seorang dari keluarganya menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah, bahwa saya tidak akan melawan mereka. Saya harap anda sekalian pun demikian.” Pada saat itulah Abdurrahman angkat bicara dan menyebut nama Ali, dan suasana menjadi seru tatkala orang berteriak: “kami tidak akan membai’at yang lain kecuali Ali.” Menanggapi perkataan itu Umar berkata: “pertengkaran menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan selanjutnya, saya berkata, buka tangan anda, Abu Bakar.” Demikianlah peristiwa pertemuan di saqifah, dalam pertemuan yang bercampur antara emosi dan kedengkian mereka (sekelompok kecil muslimin antara anshar dan muhajirin) antara satu bangsa dengan yang lain, menghasilkan kebulatan suara untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah selepas Rasul SAW.
Pada saat pertama kali kepemimpinannya, Abu Bakar memberikan satu khotbah yang dapat dikaji kemudian: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah dijadikan wali (pemimpin) untuk kamu sekalian, padahal aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Jika aku melakukan kebaikan, bantulah aku, dan ketika aku melakukan kebatilan luruskanlah aku. Kejujuran merupakan perwujudan amanat, sedangkan kebohongan berarti pengkhianatan. Si lemah diantara kalian dalam anggapanku adalah si kuat, hingga aku mampu memberikan haknya dengan izin Allah dan si kuat diantara kalian adalah si lemah bagiku hingga aku mampu merampas hak orang lain darinya dengan izin Allah. Tidak seorangpun diantara kalian yang meninggalkan jihad dijalan Allah, karena sesungguhnya tidak ada satu kaumpun yang meninggalkan jihad kecuali Allah timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah merajalela perbuatan keji pada suatu kaum kecuali Allah sebarluaskan dalam kalangan kaum itu berbagai musibah. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ketika aku berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak harus lagi taat padaku.” Khotbah ini merupakan satu poin universal yang umumnya digunakan oleh para pemikir sunni, namun apakah semua pemikir demikian?
Demikianlah sejarah singkat gambaran kondisi umat Islam pasca Rasul SAW wafat. Dari catatan sejarah tersebut dapat kita kaji kemudian, yang akan dapat menghantarkan kita pada beberapa poin kajian terkait konsep kepemimpinan yang diajukan Sunni dan Syi’i.

Analisa Sejarah
Dalam pembahasan sejarah kali ini akan dibahas tiga hal utama, karena dinilai analisa kritis atas sejarah sebagai landasan dalam pembahasan selanjutnya. Pertama, keutamaan sosok pemimpin yang mendasari segala aspek kepemimpinan bagi masyarakat arab. Kedua, kajian atas inisiatif pertemuan saqifah sendiri. Ketiga, karakter pemimpin yang ditawarkan Abu Bakar sendiri sebagai khalifah pertama yang terpilih sebagai penjabat kursi kekhalifahan pasca Rasul SAW. Analisa ini lebih bersifat sosial, karena dinilai kajian sejarah masyarakat arab amat besar kaitannya dengan strata sosial kemasyarakatan.
Dalam kondisi sosial politik masyarakat arab klasik dapat dipastikan bahwa ada satu hal yang harus ada dalam suatu kepemimpinan yakni “keutamaan.” Terminologi keutamaan dalam masyarakat arab klasik akan menjadi pembahasan pertama kajian sejarah di sini. Pada periode awal sebelum kedatangan Islam, dapat kita lihat bahwa perbedaan suku merupakan faktor awal kehormatan yang dimiliki oleh seseorang. Sistem kasta yang merupakan warisan dari dari peradaban maupun agama-agama klasik, telah mewarnai kehidupan penduduk bumi pada umumnya, meskipun di setiap wilayah keutamaan dapat dilihat dari aspek yang berbeda-beda; kekuasaan, kedudukan, harta, serta ras. Masyarakat mengadopsi hal yang serupa, dengan menilai kemuliaan seseorang berdasarkan garis keturunan yang dimiliki, keutamaan-keutamaan suku keturunan ini umumnya datang dari pendahulu atau nenek moyang mereka yang terdahulu.
Suku Quraisy dikenal dalam masyarakat arab sebagai suku yang paling terpandang, hal ini dinilai dari garis keturunannya yang terhubung pada Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai bapak bagi ajaran agama langit, atas derajat inilah Ibrahim memperoleh kedudukan yang utama dalam sejarah dan dampak tersebut turun dalam strata sosial hingga terwariskan pada anak-cucunya. Ka’bah yang dinilai sebagai warisan Ibrahim, selama berabad-abad telah menjadi tempat yang bersifat “keramat” bagi sebagian besar masyarakat hingga periode Rasul SAW. Dalam suku Quraisy sendiri ada dua golongan besar yang terpandang yakni Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Dikarenakan pertikaian yang terjadi antara ke-duanya terkait hak penjagaan atas ka’bah, hingga pada akhirnya kekalahan yang ditanggung oleh Bani Umayyah memaksa mereka untuk keluar dari Mekkah, hal ini tentu saja memberikan rasa sakit tersendiri dalam diri Bani Umayyah mengingat mereka harus menanggung malu kekalahan serta rasa dengki atas kemuliaan saudara mereka Bani Hasyim yang jelas memperoleh banyak keutamaan terkait kemenangan tersebut.
Keutamaan Bani Hasyim atas seluruh klan dalam strata sosial masyarakat arab jahiliah, menjadikan mereka lebih terpandang serta memperoleh akses yang lebih mudah atas segala hal, terutama Ka’bah sebagai pusat kebanggaan masyarakat arab waktu itu. Keistimewaan Bani Hasyim tidak hanya berhenti di sana saja, kedatangan Muhammad bin Abdullah SAW yang tergolong kelompok Bani Hasyim serta Ali bin Abi Thalib sepupunya menyumbangkan kenaikan yang lebih signifikan atas keistimewaan Bani Hasyim dengan otoritas agama terakhir yang dibawa Muhammad SAW, ditambah kecekatan dan ketangkasan Ali dalam setiap peperangan bahkan kepandaiannya dalam masyarakat arab yang terbukti dan tentu saja keistimewaan ini tidak lain produk didikan gurunya Muhammad SAW.
Demikianlah keutamaan yang hendak diusung oleh kaum anshar, mereka hendak mempertahankan tradisi keistimewaan yang turun-temurun telah diwariskan dalam budaya masyarakat arab. Dalam cuplikan sejarah di atas, Ali sebagai orang terpilih pada peristiwa Ghadir lah yang seharusnya memimpin pasca Rasul SAW wafat bagi kaum Anshar. Tetapi bagi golongan Muhajirin tidaklah demikian, tidak hanya Bani Hasyim melainkan golongan Quraisy keseluruhan seharusnya memperoleh hak yang sama besar untuk menjadi pemimpin setelah Rasul SAW. Golongan Muhajirin menilai di sisi mereka juga terdapat beberapa sahabat utama Rasul SAW yang juga memiliki keutamaan sama halnya Ali, Abu Bakar sebagai pendukung dakwah Rasul SAW selama ini bahkan dirinya juga termasuk salah satu orang-orang yang beriman. Umar bin Khattab sebagai salah seorang yang ditakuti dalam masyarakat Quraisy juga telah menyumbangkan banyak hal bagi dakwah Rasul SAW. Kita tidak dapat hanya menilai keutamaan yang dimiliki seseorang hanya dari sumbangan-sumbangan fisik semata, melainkan kita harus menilai dengan bijak. Tidak hanya itu semata, Ali bin Abi Thalib juga termasuk salah satu golongan yang masuk Islam pertama kali, maka kita tidak dapat mengafirmasi penilaian-penilaian keutamaan yang diutarakan dalam pertemuan tersebut sebagai tindakan yang bijak. Untuk memdapatkan pemimpin yang bijak, hendaknya diperlukan analisa yang bijak pula.
Pembahasan kedua, pertemuan Saqifah bukanlah pertemuan yang lazim. Pertemuan yang lazim memiliki beberapa karakter sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasul SAW sendiri. Diantaranya:
1. Pertemuan yang lazim pada masa Rasul senantiasa dilaksanakan di masjid. Rasul senantiasa menggunakan masjid sebagai sarana pertemuan bagi kaum muslim untuk membicarakan permasalahan terkait agama atau berdakwah. Masjid dinilai sebagai sentral kegiatan masyarakat muslim, untuk mengisyaratkan pertemuan yang bersifat resmi, bukan sembunyi-sembunyi.
2. Suatu musyawarah hendaknya melibatkan seluruh oknum yang terkait kebutuhan tersebut. Telah dijelaskan di atas bahwa pertemuan dalam Saqifah agaknya menunjukkan suatu pertemuan tertutup. Hal ini ditunjukkan oleh keikutsertaan segelintir kelompok yang mengatas namakan dirinya dengan anshar dan muhajirin, dan pastinya tanpa persetujuan umat keseluruhan saat itu.
3. Ketika beberapa sahabat membai’at Abu Bakar, mufakat masih belum terbentuk. Kita ketahui bahwa permusyawarahan di atas bersifat sembunyi-sembunyi, dan di dalamnya terdapat perdebatan emosional antar kelompok. Kedengkian Basyir bin Sa’ad (seorang Khazraj) atas Sa’ad bin Ubadah (seorang Aus) dinilai sebagai faktor utama baginya memilih Ali yang kemudian diralat dengan memberikan bai’atnya pada Abu Bakar. Hal ini ditunjukkan dengan kemarahan Hubab bin Mundzir padanya.
4. Sebagai umat yang mencintai nabinya, hendaknya mereka mengurus penguburan Rasul SAW terlebih dahulu. Benarkah mereka benar-benar mencintai Rasul SAW? Di saat duka melanda diri orang-orang beriman, mereka secara sembunyi-sembunyi membicarakan permasalahan kepemimpinan dan kedudukan bukan berpartisipasi dalam penguburan jenazah Rasul SAW.
Permasalahan ketiga adalah, karakter yang diajukan Abu Bakar dalam khotbah pertamanya berisi adanya kesesuaian antara pemimpin dengan syari’at agama. Kita ketahui bahwa Ali adalah kandidat terbaik pengganti kepemimpinan Rasul SAW, hal ini didukung dari berbagai aspek; keturunan, kepandaian, kebijak sanaan, keberaniannya dalam berbagai pertempuran. Dalam masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar sendiri kita ketahui begitu besar sumbangsih Ali kepada mereka. Berbagai masalah yang tak terpecahkan oleh mereka, Ali lah yang memecahkannya. Tidak hanya itu, kita ketahui banyak kesalahan pelanggaran syari’at yang telah tiga khalifah awal lakukan, terutama Abu Bakar.

Pandangan Politik yang diajukan beberapa tokoh Sunni
Polemik yang digambarkan di atas termasuk salah satu perdebatan klasik antara Sunni dan Syi’ah. Namun jika kita perhatikan secara seksama, perdebatan yang terjadi di antara keduanya bukanlah hal-hal yang bersifat substansial bagi Islam, melainkan hanya problematika yang sifatnya marginal. Contoh di atas merupakan salah satu bentuk perdebatan antara Sunni dan Syi’ah, khususnya hak kekhalifahan pasca Rasul SAW dalam perspektif sejarah. Namun, pada akar permasalahannya kaum Syi’ah meyakini bahwa kepemimpinan Islam baik politik maupun syari’at ada di tangan Ali, hal ini berdasarkan penunjukan yang diutarakan Rasul SAW dalam peristiwa Al-Ghadir. Kaum Syi’ah meyakini bahwa penunjukan Ali sebagai pemimpin setelah Rasul SAW datang dari Allah SWT melalui Rasul SAW melalui peristiwa Al-Ghadir ini, sehingga ada dua ayat yang turun pada peristiwa ini. Tidak hanya dengan dalil ini, mereka juga mengungkapkan bahwa hanya Ali yang mampu meneruskan kepemimpinan Ilahi Rasul SAW, karena Ali juga memiliki Ishmah (keterpeliharaan diri dari dosa), sebagaimana yang mereka temukan dari riwayat hadis yang mereka yakini dan merupakan sebab bagi turunnya penggalan ayat Al Ahzab: 33.
Berbeda dengan kaum Sunni yang meyakini bahwa kepemimpinan pasca Muhammad SAW wafat, sah adanya di awali oleh Abu Bakar melalui perundingan yang terjadi di Saqifah. Mereka meyakini, konsep pemilihan adalah konsep sebagaimana yang ada dalam Al Qur’an serta diajarkan pada masa kepemimpinan Rasul SAW sendiri. Bahkan konsep muryawarah ini tidak hanya terbatas pada permasalahan politik saja, melainkan juga diakui dalam pengambilan hukum syari’at yang digambarkan melalui proses Ijma’ para ulama. Antara Sunni dan Syi’ah sama-sama memiliki konsep Ijma’, namun memiliki aplikasi yang berbeda. Dalam Syi’ah ijma’ harus melalui persetujuan dari Imam Ma’shum, berbeda halnya dengan Sunni yang melakukan proses ijma’ tanpa memerlukan adanya persetujuan Imam Ma’shum.
Terhadap konsep kepemimpinan, kaum sunni memiliki beberapa prinsip umum yang lahir sebagai respon atas konsep kepemimpinan yang dibawakan kaum syi’ah. Bagi kaum sunni, amir, imam ataupun khalifah adalah orang yang memiliki kekuasaan untuk memenuhi tujuan kepemimpinannya, sebagaimana halnya seorang imam shalat adalah orang yang mengimami shalat bagi para makmum, dan diikuti oleh mereka, bukan orang yang melakukan shalat sendirian, walaupun secara teoritis layak menjadi imam. Karena alasan ini realisme sunni yang mengakui keabsahan penguasa yang memiliki kekuatan dan kompetensi lebih baik ketimbang idealisme Syi’ah yang, dengan menunggu-nunggu datangnya pemimpin yang tidak bisa dijemput, hanya akan mendorong kepada anarki.
Terkait berbagai pandangan politik sunni, kita dapat melihatnya dari pemikiran yang disodorkan beberapa pemikir kondang sunni. Ibn Taimiyah merupakan salah satu penyumbang ide-ide pokok pemikiran politik sunni, bahkan butir-butir pemikirannya masih digunakan hingga saat ini. Ibn Taimiyah merupakan salah satu pemikir politik sunni yang begitu besar memberikan kritik terhadap pemikiran politik syi’ah. Ia banyak melancarkan kritik-kritik tajam atas dasar-dasar pemikiran politik syi’ah, terutama Syi’ah Ghulat dan Ismailiyah. Dalam doktrin ghaibah imam terakhir syi’ah, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ghaibnya imam terakhir ini justru menghilangkan fungsinya sebagai pemimpin yang dinantikan umatnya. Agaknya menurut dirinya, Ibn Taimiyah lebih menuntut aksi ketimbang kualitas yang dimiliki seorang pemimpin. Baginya usaha yang ada lebih berarti dari pada penantian dalam do’a seseorang, karena perubahan hanya akan datang ketika seorang hamba melakukan perubahan dengan berusaha sekuat tenaga.
Ibn Taimiyah juga berpendapat, bahwa keyakinan atas penunjukan Ali atas pemimpin sah setelah Rasul SAW hanyalah membawa implikasi yang buruk. Terkait dengan norma-norma yang terkait dengan Keadilan Ilahi, jika memang Allah SWT hendak memilih Ali sebagai pemimpin setelah Rasul SAW, hendaknya Ali terpilih sebagai pemimpin yang ditaati oleh kaumnya. Bagi Allah SWT, suatu tindakan yang sia-sia dengan memberikan pemimpin yang tidak disenangi maupun ditaati oleh hambanya, karena hanya akan menciptakan perpecahan dan umat lepas tanpa kendali seorang pemimpin.
Terkait pengetahuan dan potensi kepemimpinan yang diwarisi oleh Ali dan keturunannya dari Rasul SAW bagi Ibn Taimiyah hanyalah omong kosong semata. Jika kemampuan yang mereka miliki adalah kemampuan yang sama dimiliki oleh umat yang lainnya, maka umat tersebut juga seharusnya mampu menerima serta memilikinya. Jika jalannya bersifat khusus hal ini tidak mungkin, karena jalan tersebut hanya diperuntukkan untuk Rasul Allah saja (wahyu). Jika jalan yang dimaksud melalui proses belajar, maka Ali dan keturunannya tiada bedanya dengan umat lainnya, dan yang membedakannya hanyalah usaha semata. Bahkan dapat dilihat adanya beberapa orang yang melebihi keilmuan mereka seperti; Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dll. Namun, terkait dengan kepemimpinan seorang khalifah, Ibn Taimiyah memiliki pendapat yang relatif berbeda dari para pendahulunya. Ia berpendapat bahwa umat tidak berhak memberontak sang pemimpin walaupun pemimpin tersebut telah berbuat zalim. Baginya persatuan umat lebih utama dibanding kezaliman pemimpin tersebut.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah, Al Mawardi memiliki pandangan berbeda terkait karakter pemimpin yang ideal. Al Mawardi berpendapat bahwa seorang pemimpin adalah wakil masyarakat, melalui teori kontrak sosial yang diutarakannya, seorang pemimpin seharusnya mewakili aspirasi rakyatnya. Maka jika seorang pemimpin melakukan kezaliman, maka rakyat boleh memberontak untuk menurunkannya. Karena seorang pemimpin harus berjalan melalui aturan-aturan syari’at yang ada dalam hukum Allah SWT. Menurut Al Mawardi, Allah SWT mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik. Dari ungkapan tersebut dapat kita lihat bahwa teori politik yang ditawarkan Al Mawardi sendiri adalah Teokrasi.

Kesimpulan
Gaya kepemimpinan yang diasung kaum sunni lebih bersifat demokratis, dimana suara terbanyak akan menjadi jalan yang “seharusnya.” Kita ketahui bahwa problematika utama dalam sistem demokrasi bahwa tidak selamanya suara dalam jumlah besar mengindikasikan yang terbaik. Sesuatu yang terbaik hanya akan muncul pada saat kesadaran masyarakat terhadap “yang terbaik” ini telah muncul terlebih dahulu. Artinya, masyarakat memerlukan orang yang memiliki kesadaran atas kebaikan ini, untuk menuntun umat pada perolehan yang terbaik. Tetapi tidak hanya pada problematika kesadaran belaka, terkadang problem yang sesungguhnya akan muncul ketika kita hendak menentukan orang-orang yang memiliki kesadaran ini. Tiap orang tidak akan pernah tahu kemampuan dan kwalitas seseorang hanya dengan penilaian dalam waktu singkat. Kita membutuhkan analisa dan penilaian yang teliti untuk mereduksi kemungkinan kesalahan yang akan muncul, maka dari itu kita juga memerlukan orang yang mampu memilah antara yang buruk, kurang baik, baik, hingga yang terbaik. Sesungguhnya pilihan yang muncul dari pribadi Rasul SAW adalah yang terbaik bagi umat. Karena kita semua telah sepakat atas kemampuan dan kwalitas yang dimiliki Rasul SAW, dan orang yang paling pantas memilih penggantinya adalah dirinya sendiri. Tidak akan seseorang disebut sebagai orang yang pandai, kecuali telah disebut sebagai yang pandai oleh orang yang pandai. Jika tidak ada konsep ishmah, maka kontinuitas kwalitas seorang pemimpin tidak akan pernah diketahui, karena penunjukan tidak akan pernah berawal. Kita memerluka seorang tokoh yang universal kemampuannya dan diakui seluruh golongan, untuk memulai stempel kwalitas ini.

REFERENSI
Enayat, Hamid. Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah. Pustaka. Bandung: 2001.
Hashem, Husein O. Saqifah, awal perselisihan umat. YAPI. Bangil: 1989.
Mantrikarno.wordpress.com
One.indoskripsi.com

0 komentar: