Jihad; Ketika Menjaga?


Pendahuluan
Revolusi dan pemberontakan memiliki arti yang sama namun pada saat yang sama juga berbeda. Pemberontakan akan keluar dari mulut pihak yang tidak senang dengan suatu pergerakan, terlepas pribadi tersebut benar maupun salah. Sedangkan perjuangan revolusi akan keluar dari mulut seorang yang menyetujui pergerakan yang sedang berlangsung.
Revolusi Iran adalah suatu revolusi yang berbasiskan agama. Agama sebagai suatu ideologi yang dinilai oleh Marxisme sebagai tetek bengek yang tidak perlu, ternyata juga dapat menjadi senjata yang mematikan bagi penguasa. Dalam tulisan inilah akan dipaparkan berbagai argumentasi yang diajukan pemikir kondang Murtadha Muthahhari mengenai revolusi Islam Iran serta jihad sebagai sebuah konsep pergerakan dalam Islam.

Biografi Singkat
Siapa yang tidak mengenal penulis sekondang Murtadha Muthahhari? beragam karyanya telah merambah dipenjuru dunia. Ia lahir pada tanggal 2 Februari 1919 di Khurasan. Ayahnya, adalah seorang Hujjatul Islam yang di hormati bernama Muhammad Husein Muthahhari. Ia banyak menimba ilmu-ilmu keislaman, hingga ia

memutuskan untuk menghabiskan kemahasiswaannya di Qum. Muthahhari begitu besar minatnya pada ilmu-ilmu pengetahuan modern dan filsafat. Di Qum, ia belajar kepada Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini. Dalam filsafat, ia banyak belajar kepada Allamah Thabathaba’i.
Dalam masa mudanya Muthahhari mengabdikan diri dengan mengajar logika, filsafat, serta Fiqh di fakultas Teologi, Universitas Tehran. Di Universitas Tehran, selain menjadi staf pengajar, ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Dirinya juga tergolong orang-orang yang mumpuni dalam bidang Ushul, Kalam, dan Irfan. Teman seperjuangannya Ayatullah Ibrahim Amini menggambarkan temannya Muthahhari, dalam kondisi apapun ia senantiasa membawa catatan dan pena. Muthahhari digambarkan sebagai seorang teman yang bijak serta tidak pernah melepaskan tangannya dari catatan itu, apapun yang ia dapat selalu dicatatnya.
Muthahhari juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting penyumbang revolusi Islam Iran. Ia senantiasa hidup dalam pertentangan, agaknya ia sendiri lebih nyaman dalam badai dari pada damai. Ia aktif menyumbangkan ide-idenya bersama Imam Khomeini demi menentang kezaliman rezim Pahlevi di Iran. Pada tahun 1963, ia bersama Imam Khomeini ditahan, sementara Imam Khomeini dibuang ke Turki, Muthahhari meneruskan perjuangan dengan mengambil alih kepemimpinan serta menggerakkan para mujahid ulama demi melanjutkan perjuangan. Bersama para ulama lainnya ia mendirikan Huseiniyayi Irsyad sebagai lembaga intelektual kebangkitan Islam. Ia juga pernah menjadi Imam Masjid Al Jawad, dan sempat menjadikan masjid tersebut sebagai basis gerakan politik Islam. Hingga pada akhirnya revolusi tercipta, pada tahun 1979, ia menjadi salah satu Dewan Revolusi.
Sebagaimana yang digambarkan di atas, Muthahhari cenderung memiliki minat yang besar pada bidang filsafat dan ilmu-ilmu modern. Karya-karya Muthahhari menggambarkan kritik-kritik tajam pada karakter ilmu-ilmu barat yang menurutnya menunjukkan penurunan gradasi moral dan tidak berlandaskan pada ideologi yang kuat. Dengan kekayaan wawasan yang dimilikinya, Muthahhari menjadi seorang ideolog yang tangguh. Pada tanggal 2 Mei 1979, Muthahhari harus menebus perjuangan Revolusi dengan nyawanya. Ia syahid disebabkan oleh tembakan kelompok ekstrim yang bernama Furqan. Dengan pemahaman yang mendalam atas ilmu-ilmu keislaman dan ideologi yang kuat, ia dikenang sebagai salah satu penyumbang ideologi muslim yang tangguh dan patut diperhitungkan.

Perjuangan; Revolusi dan jenis-jenisnya
“… Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku.” (Q.S. 5:3)
Ayat tersebut menyerukan pada kaum muslim untuk senantiasa waspada. Meskipun golongan kafir telah berputus asa atas kemenangan umat muslim, namun Allah SWT menyerukan pada umat agar tetap takut pada-Nya. Ayat ini ditafsirkan sebagai ancaman yang teracung pada umat muslim tidak hanya ancaman dari luar, melainkan ada ancaman yang lebih besar yang berasal dari dalam umat sendiri. Ayat ini mengindikasikan bahaya dari luar telah lenyap, namun sesungguhnya sudah teracung bahaya yang lebih besar dari dalam umat sendiri, maka Allah SWT mengisyaratkan pada umat agar tidak takut, takut kepada Allah SWT adalah yang terbaik. Takut kepada Allah SWT diartikan sebagai ketakutan kita atas dosa-dosa dari dalam diri kita, hal ini berhubungan erat dengan hadits Rasul SAW, yang berbunyi:
“Kalian kembali dari perjuangan kecil di jalan Allah, tetapi perjuangan besar masih akan kalian lakukan.”
Kita dapat menarik kesimpulan tersebut bagi semangat umat muslim, dan mengaplikasikannya pada semangat revolusi yang telah terbentuk dalam masyarakat Islam awal pasca Rasul SAW wafat. Dapat kita lihat dari kenyataan sejarah yang menggambarkan perubahan besar dari revolusi yang telah Rasul SAW bentuk semasa hidupnya. Banyak oknum-oknum yang ada dari dalam bangunan masyarakat muslim sendiri, justru mengubah susunan revolusi Islam yang telah Rasul SAW bentuk. Muthahhari menganggap golongan ini sebagai golongan munafik yang ingin mengubah kemaslahatan yang sudah tersusun, untuk menumpuk pribadi semata. Telah kita ketahui dari fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Ali sebagai pemimpin setelah SAW namun direbut sekelompok orang yang menganggap dirinya berjasa.
Sebagai seorang syi’ah, kita ketahui Muthahhari menggunakan fakta ini sebagai permisalan revolusi yang ingin dijaganya. Jika dilihat dari fakta sejarah, bagi kaum syi’ah, upaya dua sahabat Rasul SAW; Abu Bakar dan Umar bin Khatab yang telah merebut hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah Rasul SAW. Muthahhari menganggap, Rasul SAW semasa hidup hingga wafatnya telah menyusun bangunan revolusi pembaruan sosial masyarakat arab, sejak masa jahiliah hingga yang telah terbentuk pada masa Islam. Hingga upaya pengangkatan Ali bin Abi Thalib di Al Ghadir, menurut Muthahhari merupakan salah satu bangunan upaya penjagaan revolusi oleh Rasul SAW sendiri. Upaya Abu Bakar merebut kepemimpinan ini dianggap sebagai upaya perusakan atas bangunan yang telah didirikan Rasul SAW.
Upaya Abu Bakar menghapus hak kepemimpinan atas Ali bin Abi Thalib dengan pengatas namaan hak kepemimpinan untuk golongan Quraisy dinilai sebagai langkah awal yang begitu fatal. Upaya Abu Bakar mengatas namakan kepemimpinan yang harus berasal dari Bani Quraisy, adalah benih-benih awal tindakan rasial. Menurut Muthahhari, pilihan Rasul SAW kepada Ali bukan didasarkan atas dasar-dasar rasisme, melainkan penjagaan kemenangan yang telah dihasilkan dari nilai-nilai Islam serta melaksanakan amanat Rasul SAW demi menjaga revolusi yang sudah terbentuk.
Perpecahan ini menimbulkan dua pertentangan pendapat. Pendapat pertama mengatakan dengan benar bahwa, agar dapat kembali kepada Islam yang sesungguhnya, maka apa yang dikemukakan sebagai Islam bukan merupakan Islam yang sesungguhnya, karena dalam Islam yang sesungguhnya, masalah-masalah rasial dan kebangsaan tidak dibenarkan. Pendapat lain mengatakan bahwa, sekarang masalah kebangsaan telah menjadi persoalan: kenapa (mesti) orang Arab? Mengapa kita tidak menjadi pemimpin? Dengan demikian, benih-benih nasionalisme dan rasisme telah tersebar di kalangan orang-orang Islam. Sejarah Islam selama dua atau tiga abad pertama penuh dengan perselisihan di kalangan bangsa-bangsa Arab, Iran, dan Turki; ras-ras Iran dan Turki ini adalah Transoxiana. Pada mulanya, di zaman Umayyah, orang Arablah yang bertanggung jawab, walaupun mereka, yaitu khalifah-khalifah Abbasiah yang menentang golongan Umayyah, membantu Iran serta menjadikan bahasa dan tulisan Iran digunakan secara luas di kalangan umat. Setelah itu, Mutawakkil dari Abbasiah; setelah membina hubungan dengan Turki dan berharap dapat menyelamatkan diri dari bangsa Iran, menjunjung Turki tinggi-tinggi dan menempatkan Iran serta Arab di bawah kekuasaan Turki. Dari paparan tersebut dapat dipastikan, yakni Al Qur’an mengajak kita untuk tetap menyiagakan kewaspadaan, karena musuh yang sesungguhnya adalah yang dari dalam, karena ia bagaikan duri dalam daging.
Revolusi adalah suatu pemberontakan yang dilakukan orang-orang dari suatu daerah atau negara terhadap keadaan yang ada, untuk menciptakan peraturan dan tatanan yang diinginkan. Dari definisi tersebut, kita dapat menyikapi bahwa revolusi termasuk salah satu bentuk pemberontakan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan demi terciptanya keadaan yang lebih baik. Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa berbagai bentuk revolusi pasti memiliki arah pada pergerakan yang bersifat materi dan keekonomian (Marxisme). Namun, menurut Muthahhari tidak semua pergerakan revolusi selalu bersifat demikian. Dari pandangan-pandangan yang sudah ada para pemikir kebanyakan menyatakan bahwa revolusi terbagi pada dua bentuk, tetapi Muthahhari meyakini tiga bentuk, yaitu:
1. Revolusi pertama berorientasi pada nilai-nilai ekonomi dan material. Bentuk revolusi ini pada umumnya memiliki berbagai transformasi, tetapi pada intinya akan mengarah pada dua hal tersebut. Karl Marx disebut-sebut sebagai pencetus awal revolusi jenis ini, dan karakter utamanya terbentuk dari golongan yang tertindas sebagai protes atas segala bentuk penindasan yang mereka rasakan oleh kaum borjuis.
2. Pandangan kedua menyatakan bahwa revolusi tidak terbentuk melalui faktor-faktor material, melainkan faktor-faktor liberal dan demokratik. Telah kita ketahui bahwa revolusi terbentuk dari kesadaran akan keadaan yang buruk untuk merubahnya menjadi lebih baik, kesadaran ini pada umumnya ada di hati orang-orang tertindas. Maka ketika keadaan tersebut berlangsung, akan terjadi polarisasi dua golongan; penindas dan tertindas. Fakta sejarah menyebutkan golongan penindas pada umumnya muncul dari klan orang-orang kaya, yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin yang mereka tindas. Menurut pandangan ini, keadaan yang tidak nyaman yang dirasakan kaum tertindas inilah yang akan menyatukan mereka untuk melawan penindas demi memperoleh kebebasan mereka.
3. Dua bentuk revolusi di atas memiliki satu kesamaan yakni bentuk revolusi yang berlandaskan materi, tetapi bagi Muthahhari masih ada satu bentuk revolusi lagi; yang memiliki esensi ideologikal. Suatu kaum yang memiliki suatu sistem keyakinan yang sama, kemudian bangunan keyakinan tersebut dirusak oleh kaum yang lain akan menimbulkan suatu reaksi perlawanan. Hal ini terjadi atas dasar fitrah manusia yang menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya, sistem keyakinan yang diyakini suatu kaum berfungsi untuk mencerminkan kesempurnaan tertinggi yang ada pada kaum tersebut. Bagi kaum ini, revolusi tidak terkait sedikitpun dengan permasalahan perut maupun hak kebebasan dari segala bentuk ketertindasan. Karena kaum tersebut tidak menderita kelaparan dan tidak pula terkurung kebebasannya. Namun, pemberontakan yang mereka lakukan adalah buah kekesalan atas tidak dihormatinya keyakinan mereka, maka mereka akan memberontak. Kebebasan tertinggi bagi seorang manusia bukan terletak pada fisiknya, tetapi pada jiwanya. Kebebasan jiwa berkaitan erat dengan nilai-nilai ideologi atau keimanan yang dimiliki pribadi tersebut. Oleh sebab itu, kebebasan yang ingin dipertahankan revolusi ini adalah kebebasan ideologi, yang pada akhirnya akan keluar pada kebebasan fisik pula.
Sedemikian pentingnya ideologi bagi seseorang, sehingga tidak dapat digantikan oleh suatu apapun. Adapun faktor-faktor yang mendukung suatu revolusi ideologi adalah; penghinaan atas nilai ideologi, kebebasan ideologi yang tertindas, dan hak idealisme serta kesetiaan yang dikekang. Menurut Muthahhari ideologi memiliki nilai sentral atas segala bentuk pergerakan, oleh sebab itu lebih patut bagi kita untuk melandaskan suatu pergerakan dari sisi ideologi, bukan sekedar materi atau ketidak senangan atas sikap penindas.

Ideologi
Telah kita dapati dari paparan di atas betapa pentingnya nilai suatu ideologi bagi seseorang. Kini kita akan membicarakan ideologi sendiri serta bentuk ideologi tertinggi sendiri. Manusia memiliki dua jenis tindakan: yang berorientasi kepada kenikmatan dan yang berorientasi kepada sasaran. Tindakan yang berorientasi pada kenikmatan cenderung memiliki kesamaan dengan apa yang kita sebut dengan gerak reflek, yang bersifat spontan dan sederhana. Tindakan ini di dasari oleh tendensi dan dorongan biologis manusia; seperti tindakan seseorang yang sedang haus kemudian spontan dia akan mengambil gelas untuknya minum, atau gerakan anggota tubuh yang akan menjauhi panas oleh api dan lain sebagainya. Namun ciri khas yang dapat kita ambil dari tindakan ini yakni; tidakan ini dapat berungsi sebagai perintah atau larangan alamiah untuk mendekati atau menjauhi sesuatu yang ia butuhkan atau yang berbahaya baginya.
Tindakan yang berorientasikan pada sasaran berbeda dengan reflek manusia. Tindakan ini tidak ada sangkut pautnya dengan dorongan serta tolakan biologis manusai. Bentuk seperti ini tidak akan terbentuk spontanitas seperti gerakan yang berorientasikan kenikmatan, tetapi gerak ini membutuhkan suatu penalaran serta berbagai pertimbangan terlebih dahulu. Karena mengadopsi dari nilai-nilai rasional, gerakan ini mengandung nilai baik serta buruk. Berbeda dengan sakit kepala atau lapar yang mendorong kita untuk makan, namun kepuasan, kekecewaan, kekaguman memiliki nilai yang lebih tinggi karena perasaan tersebut hanya ada pada diri manusia. Perasaan-perasaan tersebut adalah buah kontemplatif yang manusia lakukan dan tidak bersifat inderawi.
Manusia akan senantiasa menyetujui tindakan yang memiliki nilai keagungan lebih tinggi. Keagungan suatu tindakan tidak akan datang begitu saja, maka keagungan suatu tindakan akan memerlukan penilaian terlebih dahulu. Nurani manusia akan senantiasa menuntun manusia pada kearifan suatu perbuatan, untuk memperolehnya manusia membutuhkan suatu aturan yang menuntunnya untuk memberikan nilai kearifan tersebut.
Manusia adalah makhluk sosial, namun di saat yang sama juga ia memiliki individu yang mementingkan kebahagian dirinya sendiri. Aturan dibuat untuk menyelaraskan nilai-nilai kebahagian serta kearifan yang dicari setiap individu dan untuk menyelaraskannya dengan kebutuhan individu yang lain. Namun permasalahan terbesar dari suatu aturan adalah, sejauh manakah jangkauan suatu aturan dapat menyelaraskan kebutuhan individu yang majemuk tersebut? Dari sinilah kita membutuhkan yang komprehensif dan universal yang bertujuan memenuhi kemaslahatan orang banyak dan kebahagian manusia secara menyeluruhserta berisi jawaban bagi seluruh permasalahan yang ada. Adakah intelektual individu yang dapat membentuk suatu aturan yang universal sedemikian universalnya? Dari sinilah Tuhan sebagai universalitas seluruh alam memberikan manusia suatu agama sebagai ideologi universal bagi seluruh manusia. Maka jika suatu agama telah bersifat eksklusif, tidak dapat diterima lagi sebagai suatu ideologi yang universal. Untuk dapat memahami kebutuhan individu yang majemuk, agama sepatutnya dapat mendengar seluruh aspirasi dan menjawabnya dengan keputusan yang universal pula.

Jihad; sebagai upaya penjagaan suatu Revolusi
Muthhari memberikan realitas sejarah yang pernah terjadi pada masa Rasul SAW sebagai jawaban atas makna esensi Jihad. Jika kita melihat realitas sejarah Islam periode awal, Rasul SAW tidak pernah memulai suatu pertempuran, Rasul SAW senantiasa mengajarkan pada umatnya untuk menjaga nilai kearifan serta bersabar pada umatnya. Kebebasan masih dinilai sebagai hak asasi manusia yang paling besar, maka Rasul SAW juga tidak pernah memaksakan Islam sebagai suatu ideologi seseorang. Rasul SAW menyerukan kepada umatnya untuk berjihad ketika nilai-nilai kebebasan, kesucian, dan hak yang mereka miliki telah diusik oleh kelompok tertentu. Dari sini Muthahhari menyatakan bahwa jihad adalah suatu upaya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang paling asasi bagi setiap pribadi.
Jihad sebagai upaya defensif atas segala nilai kemanusiaan. Agama dan negara merupakan suatu wadah ideologi tertinggi yang dimiliki sekelompok manusia. Oleh sebab itu Muthahhari mengajarkan bahwa jihad bukan hanya sebatas ketika kita mencari suatu revolusi tetapi jihad justru lebih berat dan bermakna ketika kita bersatu untuk mempertahankan nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan untuk menjaga revolusi tersebut. Agama sebagai suatu ideologi universal yang mengikat seluruh muslim di dunia, seyogyanya mengedepankan kearifan bersama dan melepaskan nilai-nilai perusak kebersamaan ini. Oleh sebab itu pada awal pembicaraan di atas, Muthahhari mengecam tindakan-tindakan khalifah-khalifah awal yang telah merebut kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang mereka rebut. Lebih parah lagi, mereka merusaknya dengan menyebarkan penyakit yang lebih fatal disebut sebagai rasisme dengan menyebut Quraisy sebagai pemimpin umat.

REFERENSI
Muthahhari, Murtadha. Falsafah Pergerakan Islam. Amanah Press. Jakarta. 1988.
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Agama. Mizan. Bandung. 1992.
Muthahhari, Murtadha. Pengantar Ilmu-ilmu Islam. Jakarta. 2003.

0 komentar: