Dinasti Abbasiyah Dalam Gugatan!

Pendahuluan
Sejarah termasuk salah satu pembahasan yang bersifat abstrak, hal ini berarti bahwa kita tidak dapat menentukan kebenaran naskah sejarah berdasarkan analisa yang sederhana. Selain itu, kebenaran yang terkandung di dalam sebuah naskah sejarah bergantung dengan selera atau keyakinan sang penulis naskah tersebut. Selain hal ini ada integritas sebuah naskah sejarah juga bergantung kepada faktor kekuasaan pemerintah saat itu. Sehingga tidak banyak kita peroleh naskah sejarah yang dapat dipercaya, terutama naskah-naskah sejarah yang ditulis pada masa kepemimpinan seorang raja atau khalifah yang berlaku dalam masa kepemimpinan Rasulullah saw dan kepemimpinan Khalifah-Rasyidah.
Dalam makalah ini akan tertulis mengenai sejarah salah satu masa kerajaan yang memiliki periode pemerintahan yang cukup panjang, bahkan termasuk sebagai salah satu dinasti terbesar dalam sejarah Islam yakni dinasti Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M). Namun titik pembahasan utama yang akan dipaparkan dalam makalah ini lebih terfokus pada sebab utama berdirinya dinasti Abbasiyah dan realisasinya. Di dalam Islam sudut pandang sektarian (mazhab) merupakan salah satu sebab utama terjadinya perbedaan pendapat, termasuk validitas sebuah naskah sejarah. Telah kita ketahui bahwa ada dua mazhab besar dalam Islam yang menyusun mayoritas populasi Muslim dunia yakni Sunnah dan Syi’ah, maka kita tidak akan dapat pula terlepas dari subjektifitas ke-dua pendapat tersebut. Namun ada satu konsep lagi dalam Islam yang akan mewarnai makalah ini yaitu

manusia suci (Ishmah), maka akan dipaparkan pula ucapan-ucapan dari para manusia suci yang se-zaman dengan periode pemerintahan dinasti Abbasiyah.
Sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw, Sunnah meyakini hanya Rasul saw seorang sebagai manusia suci. Hal ini berbeda dengan Syi’ah yang meyakini empat belas manusia suci sejak masa kepemimpinan Rasul saw hingga saat ini. Terkait topik pembahasan kali ini, maka sudut pandang Syi’ah akan lebih dominan mewarnai pembahasan kali ini, khususnya Imam (manusia suci) yang hidup pada periode pemerintahan Abbasiyah.

Berdirinya dinasti Abbasiyah
Sebelum periode pemerintahan Abbasiyah, dinasti Umayyah adalah sebuah dinasti yang memerintah komunitas Muslim pada waktu itu. Walaupun periode pemerintahan Bani Umayyah tidak sepanjang pemerintahan Bani Abbas, namun pemerintahan mereka dinilai cukup efektif untuk menundukkan sebagian besar komunitas Muslim pada masa itu. Tetapi kondisi yang terjadi pada masa itu sarat dengan ketegangan sosial yang cukup tinggi, bagaimana tidak hal ini terjadi dikarenakan Umayyah mengisi periode kepemimpinan mereka dengan kesewenang-wenangan serta penindasan. Berbeda dengan periode kepemimpinan Khalifah-Rasyidah yang menempatkan Syari’at (hukum Islam) yang tidak pandang bulu, tetapi jerat hukum Syari’at pada masa Umayyah semakin sempit dengan adanya upaya penghapusan jerat hukum bagi kalangan elit-kerajaan, bahkan mereka berusaha menyelewengkan Syari’at hanya demi mendukung tindakan yang diambil raja pada masa itu.
Langkah-langkah yang mengundang amarah Muslimin pada masa Umayyah sudah ada pada masa kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, namun pemberontakan kaum Muslim terhadap kerajaan baru mulai berkecamuk pasca wafatnya cucu Rasul saw Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Karbala. Dalam peristiwa Karbala terjadi pembantaian al Husein beserta tujuh puluh dua orang sahabat dan keluarganya, oleh empat ribu pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dikirim oleh Abdullah bin Ziyad gubernur Kufah pada waktu itu atas perintah Yazid bin Muawiyah. Upaya tersebut Yazid lakukan atas dasar pengambilan bai’at (pengakuan) atas kepemimpinannya, namun al Husein menolak karena beranggapan agama yang telah dibawa Rasul saw kakeknya telah jauh menyimpang dari yang sebenarnya berada di bawah kepemimpinan Yazid. Peristiwa tersebut telah memicu semangat perlawanan ummat pada waktu itu, hingga muncul berbagai perlawanan hingga runtuhlah masa kepemimpinan dinasti Umayyah. Pemberontakan Muslimin terjadi di berbagai daerah yang sebagian besar dipelopori oleh Bani Abbas, hingga mereka berhasil menggulingkan kepemimpinan Umayyah yang pada akhirnya kepemimpinan berganti di tangan Bani Abbas.
Faktor pendukung utama naiknya Bani Abbas sebagai pemimpin ke-Khalifahan saat itu adalah keberhasilan Bani Abbas dalam meyakinkan Muslimin. Mereka telah berhasil meyakinkan Muslimin bahwa mereka adalah keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan keluarga Rasul saw dan akan senantiasa bertindak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw. Hal ini terungkap dari pidato pertama as-Saffah setelah pembai’atannya di kota Kufah pada 132 H. Selain berbicara mengenai kekejaman Bani Umayyah ia juga mengungkapkan; “Dan sesungguhnya aku berharap kalian tidak akan lagi didatangi oleh kezaliman, pada saat kebaikan telah datang kepadamu, tidak pula kehancuran pada saat, perbaikan telah datang mengunjungimu.” Setelah itu berdirilah paman as-Saffah, Daud bin Ali, dan ia menegaskan di hadapan orang banyak; “Demi Allah, gerakan yang telah kami lakukan ini sama sekali tidak bertujuan untuk menumpuk harta benda, menggali sungai, membangun istana atau mengumpulkan emas atau perak, tapi sesungguhnya kami telah bertindak demi membela putera-putera paman kami (yakni keluarga Abu Thalib), dan karena buruknya perlakuan Bani Umayyah terhadap kalian, penghinaan mereka terhadap kalian dan monopoli mereka dengan tunjangan dan harta yang menjadi hak kalian. Maka dengan ini kami berjanji kepada kalian, demi kesetiaan kami kepada Allah dan Rasul-Nya dan demi kehormatan Abbas, untuk memerintah di kalangan kalian sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah, melaksanakan Kitab Allah dan berjalan –baik di kalangan umum ataupun khusus– dengan teladan Rasulullah saw.”

Pelanggaran Janji Bani Abbas
Belum lama janji yang mereka ucapkan, telah tampak benih-benih kebobrokan perilaku serta tindakan-tindakan yang berada di luar batas peri kemanusiaan. Berbagai naskah sejarah klasik mencatat tindakan-tindakan mereka, di antaranya; Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka pun “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih limapuluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuhpuluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga mambunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Janji Abbasiyin yang akan senantiasa membela dan memperjuangkan hak-hak keluarga Rasul saw dan Muslimin serta senantiasa bertindak dengan hukum Allah, merupakan kepalsuan belaka. Hal ini terbukti melalui penyelewengan-penyelewengan moral yang kerap terjadi dalam keluarga kerajaan. Perseliran yang berlebihan dan khamr (minuman keras) telah menjadi kebiasaan mereka, padahal hukum Islam telah menentukan secara jelas mengenai larangan khamr. Hukum haram, yang menjadi salah satu ciri khas hukum Islam, tidak lagi diterapkan [pada arak] seperti halnya amandemen konstitusi Amerika abad ke-18. Bahkan para khalifah, wazir, putra mahkota, dan para hakim tidak lagi peduli dengan ketentuan agama. Para sarjana, penyair, penyanyi, dan musisi sering berkumpul bersama. Praktik ini, yang berasal dari Persia, telah melembaga pada masa awal Dinasti Abbasiyah, dan menjadi profesi pada masa al-Rasyid. Selain al-Rasyid, al-Hadi, al-Amin, al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan al-Mutawakkil terbiasa minum arak; al-Manshur dan al-Muhtadi menentang minuman arak. Al-Nawaji kekurangan halaman dalam bukunya untuk menuliskan semua khalifah, wazir, dan sekertaris yang telah kecanduan mengonsumsi minuman terlarang itu. Khamr, yang dibuat dari buah kurma, adalah minuman favorit.
Selain minuman keras, praktek prostitusi telah membudaya pada masa Abbasiyah. Bahkan budaya-budaya berkumpul dalam suatu rumah yang menyajikan tari-tarian serta nyanyian wanita yang mengundang birahi sudah menjadi konsumsi masyarakat umum, keadaan tersebut dapat kita lihat dari penjelasan berikut. Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian menjadi hal yang lazim dijumpai. Pada pesta anggur ini (tunggal, majlis al-syirab) tuan rumah dan para tamu memercikkan parfum, atau air mawar pada janggut mereka, serta mengenakan busana khusus berwarna terang (tsiyab al-munadamah). Ruangan dibuat harum dengan ambergris dan kayu cendana yang dibakar dalam pedupaan. Para biduanita yang berpartisipasi dalam perjamuan semacam itu kebanyakan adalah para budak tuna susila, seperti digambarkan dalam berbagai cerita, yang sangat merusak moral kaum muda pada masanya. Gambaran tentang sebuah rumah khusus di Kufah selama pemerintahan al-Manshur terdengar mirip dengan sebuah cafe chantant, dengan Sallamah al-Zarqa’ (bermata biru) sebagai ratunya.
Sudah tercatat dua dari tiga janji kaum Abbas yang telah mereka ingkari. Bani Abbas telah melanggar hukum-hukum Allah serta menumpuk harta demi kepentingan pribadi. Atas dasar demi memenuhi nafsu birahi semata, keluarga kerajaan menjarah harta Muslimin (Bayt al-Mal). Bahkan pada masa Harun al-Rasid sendiri digambarkan dirinya kerap kali menghambur-hamburkan harta yang tidak sedikit jumlahnya hanya demi memenuhi hasrat keinginannya memiliki koleksi selir. Telah disebutkan bahwa al-Rasyid membelanjakan uang senilai 70. 000 dirham hanya demi membeli Dzat al-Khal (budak wanita yang ia inginkan). Dan istri al-Rasyid sendiri Zubaydah, menghadiahi suaminya sepuluh orang gadis muda hanya bertujuan agar suaminya tidak lagi tertarik dengan wanita lainnya. Disebutkan pula al-Rasyid hendak membelanjakan uang senilai 100. 000 dinar hanya untuk membeli Tawaddud, seorang budak wanita cantik jelita serta berbakat yang digambarkan dalam cerita Seribu Satu Malam.
Tidak cukup melanggar dua janji saja, ternyata Bani Abbas juga tidak menepati janji terbesarnya yakni membela dan menjaga hak-hak serta kehormatan putera-putera Abu Thalib. Dalam riwayat sejarah Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa ada beberapa manusia suci yang hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas. Setelah ini akan kita simak realitas yang terjadi menyangkut perlakuan Bani Abbas terhadap manusia suci tersebut yang juga merupakan putera keturunan Rasul saw dan Amir al-Mu’minin Ali bin abi Thalib, juga beberapa ungkapan mereka mengenai pemerintah pada masa itu.
Ja’far bin Muhammad as-Shadiq (83-148 H), meninggal diracuni oleh orang suruhan al-Manshur. Dia menyatakan; “Bentuk kepemimpinan yang terlarang adalah kepemimpinan orang yang zalim (aniaya) beserta stafnya baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Haram bekerja di bawah sistem mereka, mengusahakan keperluan mereka. Pelakunya berdosa dan pantas mendapat siksa dari Allah, baik kecil atau besar yang ia sumbangkan. Karena segala sesuatu yang ditujukan untuk membantu mereka termasuk dosa besar. Sebab kepemimpinan yang zalim akan menghapus yang haq dan menghidupkan kebatilan serta menampilkan kezaliman dan kerusakan juga pengabaian terhadap kewajiban-kewajiban, pembunuh para nabi dan kaum mukmin sekaligus merobohkan masjid dan merubah ketentuan Allah dalam syariat-Nya. Karena itulah bekerja dan membantu mereka diharamkan kecuali dalam keadaan terpaksa seperti keterpaksaan memakan darah dan bangkai.”
Musa bin Ja’far al-Kadzim (128-183 H), meninggal diracun oleh orang suruhan al-Rasyid yang bernama Sanadi bin Sahik. Dia menyatakan; “Barangsiapa yang mengejar kedudukan akan celaka. Dan yang terkena penyakit ujub juga akan binasa.”
Ali bin Musa ar-Ridha (148-203 H), meninggal diracun oleh orang suruhan al-Ma’mun. Ia juga menyatakan; Beliau menggambarkan tentang perbuatan raja (yang zalim): “Yang bekerja sama dengannya dan yang membantunya serta yang berusaha memenuhi kebutuhannya sama dengan kekafiran. Melihat mereka dengan sengaja termasuk dosa besar yang layak mendapat siksa neraka.”
Ali bin Muhammad al-Hadi (212-254 H), meninggal diracun oleh al-Mu’taz sendiri yang meletakkan racun dalam makanannya. Syair Imam Ali an-Naqi yang ditujukan kepada al-Mutawakkil al-Abbasi: Mereka mendirikan rumah di puncak-puncak gunung yang dijaga ketat. Oleh para serdadunya yang kuat, namun itu semua sudah tiada berguna lagi. Lalu mereka digiring ke kuburan, dan di sanalah sejelek-jelek tempat baginya. Tiba-tiba seseorang datang dan memanggil-manggil setelah penguburannya. Mana emas-emas, serta mahkota-mahkota dan baju-baju indah. Mana wajah-wajah yang mendapat nikmat sangat banyak. Yang dengannya bisa mendapatkan sesuatu tanpa kesulitan dan kerepotan. Dengan jelas kuburan itu mengungkapkan perkabaran keadaan mereka. Itulah wajah-wajah yang kini sedang digerogoti oleh ular-ular yang saling berebutan. Telah lama mereka hidup dan menikmati masa hidupnya. Dan kini setelah mereka merasakan nikmat itu, mereka jadi santapan ular-ular. Lama mereka bina rumah-rumah megah untuk dihuni. Namun rumah-rumah itu telah diwariskan untuk keluarganya, setelah kepindahan dirinya. Telah lama mereka menimbun harta dan hanya menyimpannya. Kini harta itu telah ditinggalkan dan jadi rebutan musuh-musuhnya.
Hasan bin Ali al-Asykari (232-260 H), meninggal diracun oleh orang suruhan al-Mauktamid. Beliau berkata; “Akan kepada manusia suatu zaman, wajah mereka dalam keadaan berseri-seri, sementara hati mereka gelap dan ternodai. Yang sunnah sudah dianggap bid’ah sedangkan yang bid’ah dianggap sunnah. Seorang mukmin yang hidup di antara merekaterhina sementara si fasik menjadi mulia. Para pemimpin mereka adalah orang-orang bodoh yang berlaku aniaya sedang ulamanya duduk di pintu para penguasa zalimin (penganiaya).”
Telah disebutkan pula dalam riwayat sejarah yang lain bahwa seseorang yang bernama Humaid bin Qahthabah datang kepada al-Rasyid untuk menyatakan kesetiaannya padanya. Kemudian al-Rasyid menyuruhnya mengikuti pembantunya untuk membuktikan kesetiaannya tersebut. Kemudian ia diantar oleh pembantu tersebut ke suatu rumah yang terkunci yang di dalamnya terdapat 60 orang putra keturunan Rasul saw. Seketika itu pula ia diperintah untuk membunuh mereka semuanya. Setelah ia membunuhnya dikatakan Humaid menjadi hilang kendali serta berputus-asa atas rahmat ampunan Allah. Dari berbagai pemaparan di atas, dapat kita simpulkan pemerintahan Bani Abbas tidak ubahnya Bani Umayyah bahkan lebih kejam, dan tidak satupun janji yang mereka ucapkan mereka realisasikan.

REFERENSI
Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam. Mizan. Bandung. 1998.
Guven, Fatih. 560 Hadis dari 14 Manusia Suci. Yayasan Islam Al-Baqir. Bangil. 1995.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2005.

0 komentar: