Dunia Perlu Tasawuf!


Pendahuluan
Setiap manusia memiliki hati yang berfungsi sebagai salah satu alat pencapaian kebenaran. Sedemikian hingga kemampuan hati yang begitu besar, hingga kemampuannya yang dapat mengalahkan pesaingnya (indera dan akal). Di dalam hatilah tertanam potensi-potensi Kesempurnaan Ilahiah bagi satiap jiwa manusia. Kemampuan manusia yang begitu besar ini terkadang tidak disadari oleh diri, hingga tak tertuang dalam ekspresi bahkan diri tertutup dalam nilai-nilai duniawi yang membuat diri semakin jauh dari potensi sakralnya. Keterbatasan dan keberadaan manusia dalam dunia materi membuatnya lupa pada nilai-nilai Agung yang tertanam ini, bahkan dorongan lahiriah menjadi prioritas hidup dan tak ayal lagi nilai hewani menyala dan nilai Ilahiah-pun meredup.
Tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu yang tak-terucapkan bertujuan untuk mengembalikan manusia pada sejatinya; yakni Wakil Tuhan. Manusia adalah makhluk termulia, hal ini tercitra dari potensi-potensi manusia yang begitu berbeda dengan makhluk lainnya. Berbagai potensi yang tertanam dalam diri manusia; kearifan dan kehinaan menghantarkannya pada kebebasan yang mandiri. Fitrah manusia yang cinta pada nilai-nilai kesempurnaan telah menjadikannya berbeda dari makhluk lainnya; yakni tertanamnya nilai-nilai ke-Tuhanan dalam diri manusia. Peran tasawuf bagi manusia adalah sebagai

media penggugah kesadaran manusia agar kembali pada Kesempurnaannya serta menjauh pada hinanya nilai-nilai duniawi. Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa peran penting tasawuf di dunia serta nilai universalitasnya.

Makna Tasawuf
“Aku adalah Kekayaan yang Tersembunyi dan Aku ingin diketahui, maka Aku menciptakan dunia ini.” Demikianlah hadits qudsi yang diungkapkan Rasulullah SAW perihal ungkapan Sang Maha Sempurna pada dunia ini. Tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengajarkan kepada para pengikutnya untuk menyadari diri serta mengenal kembali, Siapakah Yang Sebenarnya yang tampak dan eksis di alam semesta ini? Maka hal inilah yang mendasari seluruh ajaran tasawuf yang ada pada seluruh belahan dunia ini, hanya demi mengembalikan manusia pada Kebenaran yang Sejati, karena hanya dengan menyadari Kebenaran inilah manusia akan kembali pada tujuan awal penciptaan serta kebahagiaan yang sempurna. Demikianlah titik temu atas seluruh ajaran tasawuf yang ada, karena hanya dengan menyadari-Nya manusia akan sampai pada tujuan hakekatnya yang sempurna.
Martin Lings mengutarakan, tujuan dan muara Tasawuf adalah kewalian (sainthood), dan seluruh seni sakral dalam pengertian istilah yang benar dan utuh merupakan kristalisasi kesucian, seperti halnya seorang Wali merupakan inkarnasi suatu monumen suci. Keduanya merupakan manifestasi dari Kesempurnaan Ilahi. Dari pernyataan ini dapat kita lihat kesamaan seluruh ajaran tasawuf yang tidak hanya terdapat dalam Islam saja melainkan terdapat dalam agama lain pula. Lings mengungkapkan tasawuf dengan sebutan lainnya juga; yakni seni sakral yang mengindikasikan universalitas tasawuf yang terdapat dalam agama-agama lain. Seni sakral yang dimaksud dalam hal ini ialah suatu disiplin khusus yang memiliki aturan dan ciri khas tersendiri dengan tujuan mengenal Keagungan serta Keindahan Tuhan yang Maha Suci.
Pencitraan Tuhan di setiap agama berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Hindu menggambarkan Tuhan dengan tiga karakter yakni; Pencipta sebagai Brahma, Pemelihara dengan Wisnu, dan Perusak dengan Shiwa. Kristen menyebutkan ke-tiga Tuhannya yang mewakili satu sebagai Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Islam menyatakan Tuhannya hanya tunggal yang tak terbagi dan tak terbilang dan dilambangkan dengan sebutan Allah SWT. Alhasil dari agama-agama tersebut yang menggambarkan Tuhan masing-masing yang berbeda secara akal, namun memiliki satu kesamaan diantaranya yakni; Tuhan mereka memiliki Sifat Agung dan Indah. Dalam Islam ke-dua sifat tersebut merupakan dua penyusun utama yang melambangkan Maha Sempurna. Maka dalam tasawuf yang diajarkan dalam Islam memiliki tujuan utama yaitu; pembebasan jiwa dari keterbatasan-keterbatasan manusia yang terjatuh pada kubangan dosa, kebiasaan dan prasangka yang telah menjadi watak kedua, serta menganugerahinya dengan karakteristik watak primordial manusia, yang tercipta dari citra Tuhan. Walau terlihat berbeda namun Cinta akan tetap satu; yang dilambangkan dengan pengabdian secara total pada sang kekasih; demikianlah yang senantiasa diungkapkan Hafiz Syirazy salah seorang Sufi penganut aliran cinta. Namun intinya rasa cinta manusia yang menjadikannya sama antara satu dan lainnya, bukan pakaian maupun ritual eksternal.

Universalitas Tasawuf
Kuil Hampi, Katedral Chartres, dan Masjid Kordoba ke-tiganya menunjukkan perbedaan bentuk dan arsitektur, perbedaan ini tidak hanya secara forma saja melainkan juga terlihat dari bendera-bendera pengunjungnya dengan Hindu, Kristen, dan Islam masing-masing; namun adakah kesamaan diantaranya? Sudut pandang manusia demikian hingga telah terbiasa dengan kompleksitas pola pemikiran akal yang yang terjebak dengan sebab-akibat. Pola pemikiran semacam inilah yang telah membentuk kaca mata pemikiran manusia menjadi eksklusif. Berbeda dengan penilaian akal yang bergantung pada rasio, hati memiliki metode dan kualitas yang berbeda yang berorientasi pada fitrah dan rasa yang tidak pernah salah bagi pelaku. Demikian pula yang terlihat di antara tiga bagunan peribadatan di atas yang masing-masing menunjukkan Keindahan serta Keagungan yang berpusat pada satu titik Kesempurnaan yakni; Rumah Tuhan. Tentu saja hanya hati saja yang dapat menilai aspek tersebut, hal ini dikarenakan kapabilitas akal yang tidak memiliki kemampuan dalam menilai nilai-nilai Keindahan dan Keagungan ini.
Kesatuan Sang Kebenaran terefleksi dalam semua wahyu, tidak hanya melalui kualitas keunikan tetapi juga kualitas keserbasamaannya (homogeneity). Setiap agama memiliki ciri khas yang membedakan antara satu dengan yang lain, namun masing-masing memiliki tujuan yang sama yakni; sebagai media pengantar manusia pada Tuhan. Jika kita lihat berbagai macam buah apel yang terdapat dalam satu rumpun, satu pohon, satu kebun, bahkan satu negara, bahkan seluruh dunia maka tidak akan kita dapati buah yang sama secara formalitas, namun seluruh buah tersebut memiliki satu kesamaan yang esensial pada rasa yang dimiliki buah-buah tersebut. Jika kita lihat dari contoh tersebut maka kita akan sampai pada suatu kesimpulan; perbedaan formal dan persamaan esensi manakah yang akan kita pilih?
Manusia lebih cenderung memilih hal-hal yang bersifat formal. Tertutupnya jiwa oleh tubuh yang materi membuat manusia lupa pada nilai-nilai esensi nan agung yang berasal dari Tuhannya. Tuhan sebagai Pusat Utama (Ghaib al-Ghuyub) bagi alam semesta ini, tanpa-Nya tidak mungkin terbentuk alam semesta; terbentuknya alam ini sama halnya dengan bentuk suatu lingkaran sempurna oleh pusat lingkaran namun permisalan ini juga dapat kita ambil untuk bentuk dan tujuan berbagai agama. Suatu lingkaran sempurna tidak mungkin terbentuk tanpa adanya titik pusat terlebih dahulu, kemudian hubungan antara pusat lingkaran dengan garis melingkar dilambangkan sebagai jari-jari. Jika garis lingkaran melambangkan manusia yang terbungkus oleh materi, jari-jari sebagai agama, dan pusat lingkaran sebagai Tuhan maka akan terbentuk berbagai macam hubungan yang berbeda antara satu titik garis pada pusat melalui jari-jari yang berbeda. Tiap jari-jari memiliki jalur yang berbeda, namun kesemuanya memiliki satu persamaan; yaitu sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan yang esensinya sama. Semua mistisisme bergerak menuju Yang Maha Kebenaran.
Kecenderungan manusia menilai suatu kebenaran berdasarkan suatu yang lazim atau tidak perlahan-lahan telah memperjauh mereka dari kebenaran yang sesungguhnya; apa saja yang tak disukai orang dalam dunia yang cepat berubah ini selalu dipandang remeh dan tak relevan. Maka kebenaran telah tertutup kabur, dan hanya dinilai hanya sebatas hal yang disukai atau tidak, pola pemikiran seperti inilah yang patut diperbaiki karena kebenaran tidak lagi dipandang sebagai suatu yang objektif melainkan hanya suatu yang bersifat subjektif berdasarkan oknum-oknum tertentu. Hal inilah yang dewasa ini marak terjadi dalam fenomena-fenomena keagamaan saat ini, kebenaran hanya dinilai berdasarkan interpretasi sebagian golongan saja serta tak lagi memiliki nilai objektifitasnya, celakanya hal ini telah disepakati dan dianggap sebagai suatu yang seharusnya; inikah kebenaran yang manusia inginkan?
Seiring dengan perjalanan hidup manusia akan senantiasa mencari nilai-nilai kesempurnaan yang dirindukannya dan inilah dorongan fitrah manusia yang alami. Agama sebagai sarana yang memenuhi kebutuhan manusia ini atas terpaan kehidupan yang hanya bersifat sementara, dan agamalah yang dapat memberikan ketentraman pada jiwa manusia. Agama yang sejatinya bersifat universal telah berbelok menjadi particular atas ulah sebagian oknum yang hanya menilai agama hanya berdasarkan aspek-aspek fisiknya, dan yang lebih celaka lagi golongan ini mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan yang berhak memberikan pemahaman agama yang sebenarnya. Agama yang fitrah telah berubah menjadi milik suatu golongan, hal inilah yang mendorong manusia bergerak menjauh dari agama yang sejatinya fitrah ini. Sekularisasi merupakan label yang diberikan oleh golongan pemberontak agama ini; namun benarkah tindakan mereka yang menjauhi agama hanya karena interpretasi beberapa individu tersebut?

Peran Tasawuf dewasa ini
Dalam setiap jiwa manusia memiliki satu kesamaan yang sama, yakni kecenderungan percaya pada suatu Yang Maha Agung. Semangat kepercayaan yang tinggi ini dapat menjadi sebuah alat pemersatu bagi setiap manusia, karena hanya dengan persamaan tujuan-lah sekelompok manusia dapat bersatu. Dari tujuan ini tasawuf dapat berperan sebagai titik temu tanpa mempermasalahkan perbedaan antar individu baik; ras, budaya, maupun status sosial. Melalui tasawuf manusia dapat berusaha untuk mengenal Yang Maha Agungnya masing-masing serta hidup dalam harmoni, keselarasan, dan perdamaian. Ketika seseorang masuk dalam dunia tasawuf maka yang terlihat hanyalah Kesempurnaan, Keagungan, dan Keindahan; maka dari tiga hal inilah manusia akan bertindak yang semestinya dan sejalan dengan keadilan yang semestinya.
Betapa indahnya kebersamaan yang berpusat pada nilai-nilai Ilahiah, tiada lagi penghianatan, kecurangan, dan egoistik. Dalam tasawuf yang sarat dengan ketenangan dan kontrol jiwa hingga terbentuk hubungan yang seimbang antar tiap individu di bawah bendera yang sama (Bendera Ilahiah). Tiada yang Mengikat dan tiada pula yang Diikat; hanya ada satu Pengikat yakni seni sakral, terhubung pada satu tali yang sama disebut sebagai Tuhan. Hanya dengan kesadaran pada Sang Maha Agung manusia akan sepenuhnya tercerahkan, bahkan segala potensi kesempurnaannya akan tercurahkan secara optimal; karena hanya melalui hati-lah manusia akan mengenal Tuhannya secara utuh.

REFERENSI
Lings, Martin. Ada apa dengan Sufi? Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2004.
Nasr, Sayyid Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Pustaka Firdaus. Jakarta. 2000 (cetakan IV).

0 komentar: