Spinoza, Leibniz, dan Berkeley; Bertemu Tuhan!


Pendahuluan
Tuhan tidak dapat dijelaskan secara rasional, benarkah demikian? Gerakan sekularisme yang muncul dari dunia barat dianggap sebagai gerakan menjauhkan diri dari pengaruh agama. Gerakan tersebut muncul atas dasar interfensi agama yang begitu besar pada kehidupan masyarakat, hingga muncul rasa bosan pada nilai-nilai agama dan ke-Tuhanan. Telah kita ketahui bahwa setelah dunia filsafat barat mengalami stagnansi dalam kurun waktu yang relatif lama, orang-orang seperti Descartes, Spinoza, Hobbes, dll berusaha mengembalikan semangat berfikir yang telah lama mati itu kembali ke permukaan masyarakat. Pemikiran para pembaharu ini dirasa berbeda-beda, ada yang mengarah dalam sekularisasi dan ada pula yang berpendapat bahwa masyarakat harus kembali kepada Tuhan. Para pemikir Timur sebagian besar menilai kurangnya dasar-dasar para filosof barat terkait masalah ke-Tuhanan, maka hasil pemikiran filosof barat terkait Tuhan tidak banyak diperbincangkan di dunia timur; namun benarkah ini alasan yang sesungguhnya? Maka, dalam tulisan ini akan dibahas lebih mendalam mengenai dasar-dasar asumsi Spinoza, Leibniz, dan Berkeley; apakah Tuhan bagi mereka? Bagaimana pula alasan yang mereka kemukakan?

Abstraksi
Tuhan bagi si-A berbeda dengan Tuhan bagi si-B; inilah dasar asumsi yang mendasari penulisan makalah ini. Setiap person memiliki pemahaman, gambaran, serta figur yang berbeda mengenai Tuhan sendiri, karena Tuhan adalah suatu yang subjektif. Yang dimaksud subjektif di sini adalah pencitraan tiap individu atas Tuhan berbeda-beda. Spinoza, Leibniz, dan Berkeley adalah orang-orang yang mempelopori para filosof barat modern, mereka juga memiliki konsep mengenai Tuhan. Dalam makalah ini akan kita lihat lebih lanjut; apakah argumentasi mereka mengenai Tuhan adalah

alasan yang murni datang dari mereka sendiri ataukah sesuatu yang sesungguhnya datang dari Islam? Dalam tulisan ini saya berasumsi bahwa Spinoza, Leibniz, dan Berkeley tidak memiliki landasan yang murni dari agamanya (Kristen), namun mereka hanya mengadopsi dasar-dasar yang sudah diungkapkan filosof-filosof Muslim khususnya Ibn Arabi yang membawakan ajaran sufi-filosofis dalam keilmuan dunia Islam.
Berapakah Tuhan itu? Dengan dasar pertanyaan inilah manusia sering salah memahami Tuhan mereka. Dalam doktrin agama kristen, Tuhan diasumsikan dengan Tri-Tunggal. Tri-Tunggal adalah suatu doktrin yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan Tuhan itu sesungguhnya satu yang merangkap menjadi tiga yakni; Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Akal sebagai salah satu epistemologi pengetahuan sejatinya tidak dapat menerima pendapat tersebut, namun akankah doktrin agama selamanya mengalahkan akal? Spinoza, Leibniz, dan Berkeley dikatakan sebagai orang-orang yang taat pada gereja, namun setelah mengalami perenungan filosofis mereka menemukan jawaban yang berbeda mengenai Tuhan. Tuhan yang mereka dapati dari filsafata justru yang lebih dapat diterima oleh akal, sehingga pemikiran yang mereka nyatakan pada masyarakat menghasilkan gebrakan ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya mengobarkan semangat sekularime. Pada tulisan ini akan dibahas lebih mendetail mengenai sekularisme dalam barat juga.

Spinoza

Tuhan bagi Spinoza, dapat disimpulkan kalimat Tuhan adalah Alam Semesta. Pendapat Spinoza mengenai Tuhan dapat dikatakan terpengaruh oleh pendapat Descartes yang menyertakan alam semesta dalam eksistensi Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada posisi substansi. Descartes menyatakan bahwa Tuhan sebagai substansi utama yang menyokong terciptanya substansi mumkin lainnya, namun Tuhan sendiri bagi Descartes haruslah suatu yang tidak berawal (suatu wujud yang ada sebelum keberadaan substansi lainnya). Berbeda dengan Descartes yang menyatakan bahwa Tuhan adalah suatu substansi utama yang harus ada sebelum keberadaan lainnya, Spinoza berpendapat bahwa Tuhan dan Alam Semesta merupakan suatu keberadaan yang identik.
Spinoza berpendapat, Tuhan dan Alam Semesta adalah suatu eksistensi yang satu dan tak-terpisahkan secara substansial dan aksidental. Tuhan sebagai substansi utama yang menjadi sebab terbentuknya ciptaan lainnya atau wajib wujud. Sedangkan Alam Semesta dalam perspektif Spinoza merupakan aksiden Tuhan sebagai suatu substansi tunggal kausa prima segala kejadian dalam realitas. Dalam studi filsafat telah disepakati bahwa segala bentuk eksistensi di dunia ini selalu terbentuk dari dua pembentuk utama; substansi dan aksiden. Yang biasa kita lihat dalam praktek kehidupan ini hanyalah aksiden yang menyelimuti substansi tempat aksiden tersebut bersandar. Permisalan tersebut dapat dipahami dari contoh sebuah spidol. Jika kita melihat sebuah spidol, akan kita dapati warna, bentuk, bau, tekstur, materi dari spidol tersebut; namun yang sebenarnya kita lihat bukanlah substansi spidol tersebut, karena kita hanya melihat aksiden spidol yang menyandar pada substansinya. Substansi spidol yang sesungguhnya tidak akan pernah kita dapati, melalui perantara panca indera, karena panca indera hanya dapat mencerap materi (aksiden) dari setiap eksistensi yang ada.
Agaknya permisalan spidol di atas yang dimaksudkan oleh Spinoza; yang mana Tuhan sebagai substansi dan Alam Semesta adalah atributnya sehingga substansi tetaplah Tuhan. Ia berpendapat bahwa segala phenomena yang terjadi dalam kehidupan ini tidak akan pernah terlepas dari pengaruh Tuhan dan Alam, karena seluruh phenomena tersebut selalu ada dalam jangkauan ke-duanya. Ia juga berpendapat bahwa; God or Nature is infinite (limitless) and eternal (atemporal); it is self-caused (self-explanatory), and necessarily exists (cannot without contradiction be said not to exist). Dari beberapa pendapatnya tersebut dapat kita katakan bahwa Spinoza memiliki pandangan Pantheisme mengenai keberadaan Tuhan ini. Pendapat ini menyatakan bahwa Tuhan dan Alam adalah satu eksistensi yang tak terpisahkan, yang dimaksud adalah ke-duanya ada secara bersamaan. Penjelasan tersebut menjadi pembeda Spinoza dengan filosof barat lainnya terutama Descartes sendiri yang telah menginspirasi Spinoza, jika Descartes menyatakan Tuhan ada-Nya terdahulu (Dia yang pertama kali ada) maka Spinoza menyatakan Tuhan dan Alam muncul secara bersamaan. Pendapat Spinoza inilah yang selanjutnya diyakini para filosof setelahnya, bahkan hingga dewasa ini.
Ada beberapa alasan yang diusung Spinoza terkait keyakinannya atas; keharusan adanya hanya satu substansi yang eksis. Jika Descartes menyatakan bahwa Tuhan ada-Nya terdahulu, berbeda dengan Spinoza yang melihat adanya dualitas jika gagasan Descartes dibiarkan begitu saja. Setiap substansi masing-masing memiliki karakter masing-masing pula yang membedakan antara satu dengan yang lain. Tidak dapat diterima jika ada pendapat yang menyatakan adanya dua keberadaan yang memiliki karakter sama, namun antara satu dengan lainnya memiliki nama yang berbeda pula. Setiap karakter yang sama tidak memerlukan nama yang berbeda lagi, karena nama yang berbeda hanya diberikan pada karakter yang berbeda. Gagasan ini dapat dianalogikan dengan eksistensi A dan B. Jika A memiliki karakternya sendiri, maka kita tidak dapat menerima jika B yang memiliki karakternya sendiri pada saat yang sama disebut pula sebagai A. Jika Tuhan ada terlebih dahulu sebelum keberadaan yang lain, maka pada saat itu Tuhan telah memiliki substansi dan aksidennya (sebagai karakter Tuhan) sendiri, maka demikian pula dengan Alam yang keberadaannya berbeda dengan Tuhan pula harus memiliki substansinya sendiri. Jika Alam memiliki substansinya sendiri, maka Tuhan tidak dapat lagi dikatakan sebagai Tuhan, karena Tuhan ada sejatinya untuk menjadi sebab bagi keberadaan yang lain.
Alasan ke-dua yang diusung Spinoza untuk menolak argumentasi Descartes terkait dengan kualitas suatu substansi, yang dibahasakan oleh Allamah Husein Thabathaba’i sebagai Diktum Al-Wahid. Diktum ini terbentuk untuk menolak adanya pendapat yang menyatakan adanya dua kualitas berbeda yang keluar dari asal (substansi) yang sama. Jika A menjadi sebab, maka ia tidak mungkin pada saat yang sama akan menjadi sebab bagi B dan C yang jelas memiliki substansi dan kualitas yang berbeda pula, karena A hanya dapat menjadi sebab bagi keberadaan yang memiliki kualitas lebih rendah darinya. Keberadaan yang rendah ini dapat disebut dengan nama yang berbeda, tetapi ia masih memiliki sebagian kualitas yang ada pada A, dan kita sebut saja keberadaan ini sebagai B. Demikian pula yang terjadi selanjutnya C hanya akan keluar dari B, dan tentu saja kualitas C lebih rendah dari B. Maka demikian A, B, dan C dapat disebut sebagai eksistensi yang berbeda, namun tetap saja A memiliki kualitas tertinggi di sini. Dari sinilah Spinoza menolak argumentasi Descartes, jika Alam dibiarkan sebagai ke-dua maka Tuhan pada saat itu bukan lagi Tuhan, karena terdapat berbagai kualitas yang berbeda dalam Alam. Maka bagi Spinoza penjelasan yang terbaik atas eksistensi yang ada dalam realitas ini hanyalah atribut Tuhan yang mana sebagai substansi yang sesungguhnya dan selain-Nya hanyalah aksiden yang sejatinya bagaikan warna yang menempel pada dinding. Tanpa bersandar pada sesuatu, warna tidak akan dapat terbentuk. Argumentasi ini terpapar dari pernyataan But why cannot a substance be produced by something else – by another substance? We are referred to Proposition 5 (there cannot be two or more substances with the same attribute) and to proposition 3 (if A is to be the cause of B, A must have something in common with B).
Berbeda dengan Tuhan yang umumnya dipahami masyarakat awam saat itu, Spinoza tidak sependapat dengan pencitraan masyarakat bahwa Tuhan memiliki karakter-karakter manusiawi. Agaknya Spinoza ingin mengindikasikan Tuhan hanyalah sebagai sandaran phenomena dan realita yang terjadi, artinya; Tuhan hanya berfungsi wadah atas apa yang manusia lakukan, dan segala yang terjadi adalah akibat bagi tindakan manusia sendiri pada lingkungannya (Alam). Sebagai suatu substansi utama, maka bagi Spinoza Tuhan haruslah menjadi sebab bagi segala suatu, namun pertanyaan yang akan muncul nantinya; Apakah Tuhan hanya menjadi sebab (mencipta) ketika pertama kali penciptaan ataukah terus-menerus? Pertanyaan tersebut dapat kita jawab melalui pernyataan Spinoza sendiri bahwa Tuhan adalah substansi utama. Jika Tuhan sebagai substansi utama, maka seluruh aksiden (Alam) akan bergantung pada-Nya. Keberadaan manusia sendiri bergantung pada Alam. Telah dijelaskan bahwa Alam merupakan aksiden bagi Tuhan, dan keberadaan aksiden sendiri bersifat continue agar terus eksis, tidak dapat kita terima jika adanya suatu aksiden yang berdiri sendiri tanpa sebab, karena keberadaan aksiden sendiri bergantung kepada substansi. Alam bergantung pada Tuhan dan manusia bergantung pada Alam, maka dapat dipastikan bahwa Tuhan menjadi sebab terus-menerus, karena tidak dapat diterima keberadaan suatu aksiden yang independen (tanpa bergantung pada substansinya).
Selain Tuhan tidak memiliki sifat-sifat manusiawi, Spinoza juga berpendapat bahwa Tuhan adalah suatu substansi yang memiliki atribut tak-terbatas. Jika ada suatu substansi yang memiliki kemampuan tak-terbatas, maka Ia juga memiliki kemampuan tak-terbatas pula, ini berarti kualitas yang juga tak-terbatas. Ke-tidak-terbatasan yang dimiliki Tuhan inilah yang mengakibatkan adanya kemajemukan aksiden yang dimiliki Tuhan (Alam). Dari kemajemukan ini pula yang akhirnya membuka peluang bagi phenomena dan eksistensi lain yang ada pada Alam yang berbeda-beda pula. Namun akan ada suatu pertanyaan yang datang lebih lanjut, jika memang Tuhan memiliki atribut yang tak-terbatas lantas apakah baik dan buruk juga berasal dari-Nya?
Bentuk pertanyaan di atas adalah bentuk kritik atas pendapat mengenai ke-tak-terbatasan atribut Tuhan. Jika dikatakan Tuhan sebagai kausa prima bagi segala kualitas dan kualitas-kualitas di bawahnya hanya akan mengalami pengurangan saja, maka yang terjadi seharusnya pada tingkat terbawah adalah ambang batas netral (limit nol dalam ungkapan matematika). Pernyataan ini memiliki konsekuensi tidak adanya karakter yang berarti di bawah batas, lantas dari manakah munculnya baik dan buruk? Sebagaimana yang telah kita ketahui, penjelasan yang terbaik adalah baik dan buruk muncul dari penilaian-penilaian rasional atas segala suatu yang terjadi berdasarkan aturan yang disepakati oleh sekelompok manusia. Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa kebebasan yang dihadiahkan Tuhan pada manusia, adalah faktor utama terbentuknya baik dan buruk sebagai buah perbuatan manusia. Pendapat mengenai kebebasan ini agaknya tidak dapat kita sandarkan pada pendapat Spinoza, karena kita ketahui bahwa ia tidak meyakini adanya ungkapan yang menyatakan Tuhan tidak memiliki sifat-sifat manusiawi.
Apakah Tuhan tidak mencintai kita? Inilah pertanyaan yang akan kita tanyakan pada Tuhan yang yang digambarkan Spinoza. Manusia memiliki cinta, dari karakter inilah manusia memiliki keistimewaan dari makhluk lainnya. Jika manusia memiliki rasa cinta pada Tuhannya, apakah Tuhan akan membalas cinta ini? Spinoza menyatakan walaupun cinta pada Tuhan adalah aktifitas intelektual manusia tertinggi, manusia tetap saja tidak boleh menginginkan balasan cinta-Nya. Tuhan tidak memiliki karakter manusiawi, jika karakter ini ada pada Tuhan maka sama halnya dengan manusia sesungguhnya adalah Tuhan. Penjelasan Spinoza mengenai permasalahan ini dinilai yang paling labil, karena terlalu banyak kelemahannya. Bukankah manusia turunan alam, maka kualitas manusia setidaknya memiliki kesamaan dengan Tuhan, hal ini dapat diartikan bahwa Tuhan juga memiliki karakter manusiawi. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sebuah benda yang memiliki turunan, hendaknya mewariskan sebagian sifat-sifat dan kualitasnya pada turunannya, maka Tuhan sebagai kausa prima bagi manusia hendaknya memiliki karakter yang lebih sempurna dari sekedar manusia.

Leibniz

Tuhan adalah substansi utama, dan yang lain adalah substansi partikular turunan-Nya. Namun darimanakah terciptanya sebuah sistem harmoni yang mengatur berbagai substansi partikular ini? Dari pertanyaan inilah Leibniz menjawab; God is needed to ensure that the components of the universe interact as harmoniously as possible – indeed. Leibniz biasa mengungkapkan jawabannya ini dengan sistem harmonis alam semesta, namun sama halnya dengan Descartes dan Spinoza ia bermaksud menjelaskan Tuhan secara rasional sebagai suatu zat yang maha agung. Dia sendiri meyakini walaupun di alam ini tidak sempurna secara keseluruhan, yang pasti ada satu keberadaan yang absolut yang biasa dipanggil sebagai Tuhan. Spinoza menolak ke-terdahuluan Tuhan dari alam dengan argumentasi-argumentasi yang diungkapkannya atas pendapat Descartes, demikian pula yang dilancarkan Leibniz atas pendapat Spinoza. Leibniz menolak Spinoza yang menyatakan bahwa Alam adalah satu keberadaan yang sama dengan Tuhan, bagi Leibniz Alam justru harus dibedakan dari Tuhan. Sebagaimana yang telah kita dapati dari argumentasi Spinoza yang tidak banyak menjawab pertanyaan realitas yang sarat akan kekurangan dan keburukan, Leibniz mengungkapkan bahwa Tuhan sebagai eksistensi absolut harus menciptakan alam terbaik dan bukan itu saja, alam terbaik ini juga harus dibekali oleh sistem terbaik pula. Dengan sistem terbaik maka Tuhan dapat meminimalisir kekurangan serta keburukan yang ada di dunia ini. Maka dapat kita ungkapkan bagi Leibniz determinisme merupakan suatu keharusan, hanya saja determinisme bagi Leibniz dalam artian yang terbaik bagi suatu ciptaan tersebut.
Pendapat Leibniz mengenailebih banyak ia gambarkan melalui ilustrasi Monad-nya. Monad adalah sebutan Leibniz bagi suatu bentuk yang tidak solid dan tidak pula benar-benartak berbentuk, pendek kata monad adalah suatu bentuk yang berubah-ubah. Leibniz menggambarkan bahwa monad itu seperti jiwa manusia; yang mana tidak memiliki bentuk solid tetapi jelas dirasakan eksistensinya. Leibniz menggambarkan monad sebagai cermin yang hidup bagi alam semesta, setiap eksistensi yang ada di alam ini memiliki monad masing-masing. Masing-masing monad memiliki persepsi serta pencerapan yang berbeda, oleh karena itu perolehan masing-masing monad ini senantiasa ada dalam perbedaan dan individualitas masing-masing pula. Baginya monad tercipta bukan hanya sebagai cermin hidup alam saja, namun juga sebagai alat bagi Tuhan untuk menilai setiap yang ada dalam diri tiap-tiap individu.
Sistem harmoni yang ada di alam ini tidak akan pernah terlepas dari individualitas setiap monad yang ada, namun pengetahuan masing-masing monad ini membentuk sebuah gambaran umum. Gambaran tersebut hampir mirip dengan sebuah puzzle yang terbentuk dari berbagai potongan gambar, kemudian potongan-potongan ini membentuk suatu gambar sempurna. Monad-monad ini hanya tahu bahwa dirinya adalah bagian dari puzzle tersebut, namun ia tidak mengetahui bagian dari apakah sebenarnya dirinya? Ketika monad-monad ini bersatu dengan sistem harmoni yang ada, maka di sinilah peran Tuhan yang melihat sebuah satu gambar besar dari monad-monad tersebut. Ketika salah satu monad berubah dari tatanannya, maka Tuhan tidak akan tinggal diam; Ia akan mengatur kembali tatanan yang terbaik bagi masing-masing monad agar sistem harmoni tetap terjaga. Namun ada suatu pertanyaan yang kemudian akan muncul atas sistem harmoni monad-monad ini, bagaimanakah monad-monad ini dapat membentuk suatu sistem yang harmoni? Maka dari pertanyaan inilah Leibniz menawarkan tiga teori yang masing-masing ia gambarkan Tuhan sebagai seorang pembuat dan penjaga sistem harmoni banyak jam (monad-monad).
Teori pertama menyatakan bahwa; ada sebuah hubungan metafisik yang menghubungkan antara jam (sistem harmoni alam dan monad) dengan pembuatnya (Tuhan). Hubungan inilah yang menjaga sistem tetap dalam suatu harmoni yang seimbang, ketika sistem mengalami pergeseran (dari yang semestinya) maka Tuhan akan turun tangan dalam sistem ini untuk memperbaiki sistem ini tetap berjalan semestinya. Hubungan metafisik ini Leibniz gambarkan dengan sebuah sistem kausalitas, maka Tuhan membuat suatu sebab yang pada akhirnya nanti akan berakibat pada perbaikan sistem yang melenceng tersebut. Atas teori ini Leibniz mendapat suatu pertanyaan dari lawannya Malebranche yang berpendapat; bagaimana mungkin sebuah keberadaan metafisik (Tuhan) dapat berdampak pada sebuah sistem yang bersifat material? Terkait dengan pendapat Leibniz sendiri mengenai monad, ia menyatakan bahwa monad sendiri adalah sebuah keberadaan yang absolut dan tidak mungkin suatu apapun keluar masuk dari bahkan ke dalamnya. Dengan adanya pernyataan inilah Malebranche mengeluarkan pendapatnya mengenai hubungan ini, maka Leibniz menjawab pertanyaan ini dengan teori selanjutnya.
Dengan teori ke-duanya Leibniz berusaha menjawab pertanyaan yang dilayangkan Malebranche. Teori ke-dua disebutkan bahwa; Tuhan akan memilih salah satu monad di dalam sistem ini sebagai sarana bagi monad yang lain untuk merujuk pada monad yang terpilih tersebut. Teori ini lebih tepat diasumsikan sebagai ke-nabian, yang mana Tuhan memilih salah satu dari manusia guna menyampaikan petunjuk yang diberikan oleh Tuhan bagi manusia lainnya agar senantiasa berada dalam sistem harmoni yang seharusnya. Mengenai sistematika daya metafisik yang sampai pada sebuah sistem materi yang dilayangkan Malebranche, ia menjawabnya dengan sebuah permisalan. Ketika seseorang hendak melempar batu, sesungguhnya tindakan itu tidak akan pernah terjadi kecuali dengan adanya interfensi Tuhan di dalamnya, Leibniz menjawab bentuk tindakan ini tidak hanya membutuhkan daya materi saja, namun Tuhan mempengaruhi psikologi orang tersebut untuk memerintahkannya agar melempar batu. Melalui pernyataan ini dapat kita pahami bahwa Tuhan telah memilih manusia sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh (wakil Tuhan di alam). Dari asumsi inilah dapat dilihat bahwa sesungguhnya Leibniz sendiri berusaha mengadopsi sebuah doktrin kenabian untuk membuktikan interfensi Tuhan bagi manusia; benarkah ajaran filsafat yang dibawakan Leibniz ini murni darinya?
Teori ke-tiga yang diajukan menyatakan bahwa; tiap-tiap monad ini sebelum eksis di alam nyata telah diberikan sebuah sistem yang sempurna bagi masing-masing dan telah disertakan pula di dalamnya keunikan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dengan bekal tersebutlah masing-masing monad ini berinteraksi dengan monad lainnya, yang akhirnya akan terbentuk sebuah sistem yang harmoni. Dengan adanya potensi ini, masing-masing monad memiliki kemungkinan yang sama untuk mempengaruhi sistem harmoni ini, hanya saja sejauh mana tiap-tiap monad dapat memanfaatkan keunikannya. Dari tiga teori ini dapat kita simpulkan bahwa; bagi Leibniz Tuhan menjaga sistem keselarasan alam ini melalui tiga cara yang kesemuanya diterapkan di alam ini. Pemberian kemampuan yang sama, sebab-akibat, dan nabi adalah tiga alat Tuhan untuk menjaga keselarasan monad-monad yang ada di alam ini, maka Tuhan tidak diam selepas mencipta.
Selain keunikan Leibniz percaya, tiap-tiap monad memiliki potensi yang sama; ia yakini potensi ini dengan kebebasan. Leibniz menggambarkan bahwa sebelum Tuhan melepaskan suatu monad turun ke alam guna bdengan monad lainnya, Dia membuat banyak monad yang serupa dahulu. Ketika Tuhan akan menurunkan A sebagai salah satu monad di alam, Tuhan telah menciptakan berbagai monad A dengan keunikan masing-masing yang mana tiap-tiap monad ini memiliki kebebasan yang sama. Setelah Tuhan mencipta keragaman yang serupa ini, Tuhan akan melihat dari tiap-tiap monad ini yang terbaik dari monad-monad A tersebut untuk turun dalam sistem harmoni di alam. Maka tiap-tiap monad yang ada di alam bagi Leibniz merupakan yang terbaik, agaknya pendapat Leibniz ini mengadopsi proses pembuahan sel telur oleh sperma. Sebelum proses pembuahan kita ketahui bahwa ada berjuta sperma yang akan melalui proses seleksi dalam perjalanan menuju satu sel telur, dan yang nantinya akan membuahi telur adalah sperma tercepat, terkuat, dan yang paling tahan dari semua seleksi yang terjadi sepanjang perjalanan ke telur.
Leibniz menjelaskan alasan; mengapa perlu diciptakannya sebuah dunia dengan sistem terbaik? Tuhan memiliki kearifan tak-terbatas, maka semestinya pula Ia menciptakan sebuah sistem yang terbaik pula. Setiap bentuk kesalahan dalam mencipta bagi Tuhan adalah kekurangan, maka setiap kekurangan bukanlah sifat Tuhan; maka itu bukanlah Tuhan melainkan iblis. Setiap tindakan yang tidak sempurna merupakan bentuk ke-zaliman, dan tindakan zalim bagi Tuhan adalah mustahil. Jika tidak ada kemungkinan terbaik bagi dunia Tuhan tidak akan mencipta, karena bagi Tuhan lebih baik tidak mencipta dari pada menciptakan ke-zaliman. Dalam logika Tuhan terkait eksistensi Leibniz menyatakan bahwa Tuhan hanya mengenal dua istilah yakni; 1 dan 0. 1 mewakili keberadaan yang absolut yakni Tuhan sendiri, sedangkan 0 mewakili ke-tiadaan. Sedangkan bagi eksistensi lainnya (monad), eksistensi ini bergantung pada Tuhan dan memiliki intensitas yang berbeda antara satu dengan lainnya; penjelasan ini dianalogikan dengan datangnya sinar matahari pada Bumi. In his more mystical moments, he speculated that all concepts were generated out of the binary numbers 1 and 0, with 1 representing pure being, or God, and 0 representing absence of being, or the void. Individual substances are dependent on God like the light radiating from the Sun; and they are distinct from God and from each other because of their varying proportions of darkness or non-being. In effect, the universe is the most perfect number, other than 1 itself.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa gagasan yang diusung Leibniz terlihat serupa dengan gagasan Wahdat al-Wujud yang telah diungkapkan Ibn Arabi jauh sebelum Leibniz sendiri. Gagasan ini berusaha membuktikan bahwa sesungguhnya eksistensi yang ada di alam ini hanyalah satu, yakni Tuhan. Segala eksistensi selain-Nya hanyalah pancaran eksistensi dari Tuhan saja. Sesungguhnya tidak ada yang memiliki substansi selain Dia, karena setiap eksistensi yang ada di alam ini bergantung pada-Nya. Hubungan ini dilambangkan dengan matahari dengan sinarnya, yang mana matahari terlihat hanya jika matahari tersebut mengeluarkan sinarnya saja. Namun sinar-sinar tersebut memiliki gradasi yang masing-masing berbeda antara satu dengan yang lain. Sinar tidak akan ada tanpa matahari, tetapi pada saat yang sama pula kita katakan matahari bukanlah apa-apa tanpa sinarnya. Dari analogi ini dapat disimbolkan dengan posisi matahari sebagai kausa prima (Tuhan), dan sinar sebagai ciptaan (monad).

Berkeley

Leibniz menggambarkan; Tuhan sebagai penjaga monad-monad dengan sistem harmoninya. Berkeley berusaha melengkapi penjelasan ini melalui sensible things. Yang dimaksud sensible things di sini adalah; segala pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia. Permasalahan Tuhan yang ada dalam ajaran kristen klasik terletak pada peran Tuhan yang diimajinasikan sebagai sesembahan yang jauh dari pengaruh-pengaruh inderawi. Tuhan digambarkan sebagai pencipta yang maha agung yang mengetahui segala sesuatu namun permasalahannya adalah; jika Tuhan tidak memiliki pengetahuan akan sensible things bagaimana mungkin Ia mampu merasakan penderitaan atau kesenangan manusia? Selain hal itu pula Tuhan digambarkan tidak berbadan; maka bagaimanakah cara untuk menjelaskan bahwa Tuhan dapat merasakan apa yang dirasakan manusia.
Setiap pengetahuan manusia bersifat partikular, artinya konsep pengetahuan yang dirasakan tiap-tiap individu selalu berbeda antara satu dengan yang lain. Jika pengetahuan manusia yang senantiasa partikular tersebut lantas; dari manakah datangnya nilai-nilai pengetahuan partikular yang disepakati tiap-tiap individu yang ada? Dari sinilah Berkeley berasumsi bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan manusia saja, namun Tuhan juga mencerap pengetahuan iderawi manusia melalui indera manusia sendiri. Tuhan hidup di luar dan di dalam diri manusia, maka dari sinilah Tuhan dapat merasakan apa yang dirasakan manusia.
Berkeley menjelaskan tidak mungkin pengetahuan manusia yang partikular dapat menjadi pengetahuan yang bersifat universal dan dapat dipahami bahkan disepakati oleh pribadi lainnya. Dari asumsi inilah Berkeley berasumsi harus adanya sesuatu yang membentuk dan menjaga pengetahuan serta memori yang bersifat universal bagi manusia. Maka Berkeley berpendapat bahwa Tuhan tidak hanya hidup dan merasakan pengalaman indera partikular manusia saja, Tuhan juga senantiasa memberikan bahkan menjaga konsep-konsep pengetahuam universal dalam diri manusia pula. Dengan adanya konsep ini Berkeley memperoleh perhatian lebih dari dunia saat itu, karena ia berhasil menjawab keraguan masyarakat atas Tuhan yang selama ini digunakan gereja untuk membenarkan interpretasi ke-Tuhanan para pastor.
Berkeley mengungkapkan bahwa; Whence I conclude, not that they have no real existence, but that, seeing they depend not on my thought, and have an existence distinct from being perceived by me, there must be some other Mind wherein they exist. As sure, therefore, as the sensible world really exists, so sure is there an infinite omnipresent Spirit who contains and supports it. Pernyataan ini begitu sensasional dan menggebrak dunia barat saat itu. Tuhan yang selama ini digambarkan sebagai suatu sosok yang inferior terhadap manusia melalui justifikasi-justifikasi para pastor, telah dipatahkan oleh sebuah pernyataan yang diungkapkan seorang Berkeley. Dalam hal ini Berkeley ingin menekankan bahwa sensible things termasuk rasa sakit, senang, susah, sedih, gembira, dll adalah suatu perasaan yang sifatnya benar-benar pribadi, artinya adalah pengalaman-pengalaman seperti ini adalah sebuah pengalaman yang murni subjektif. Kita dapati dalam kehidupan manusia, ternyata ada kesepakatan-kesepakatan terkait pengalaman sensual tersebut maka tidak mungkin nilai universal yang menjadi kesepakatan tersebut datang dengan sendirinya, perlu suatu objek yang Maha Tahu yang berfungsi mengumpulkan pengetahuan ini. Tidak hanya mengumpulkan saja, namun Tuhan juga menambal kekurangan-kekurangan pengetahuan manusia yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga manusia dapat menciptakan nilai universal sebuah pengetahuan.
Masihkah Tuhan bersifat Tri-Tunggal bagi Berkeley? Dari pertanyaan tersebut akan muncul premis-premis dasar mengenai proses sampainya sebuah ilmu universal dalam diri manusia. Telah kita pahami bahwa untuk menciptakan sebuah pengetahuan yang universal maka harus ada satu objek yang memiliki pencerapan pengetahuan apa adanya dari tiap-tiap pribadi, kemudian menyimpulkannya sehingga setiap orang dapat memahami bersama-sama hingga menghasilkan suatu kesepakatan. Jika suatu kesimpulan universal ini diserahkan pada dua person atau lebih, mungkinkah kesimpulan yang dihasilkan akan tetap universal? Tentu saja hal ini tidak dapat diterima, jika kumpulan informasi pengetahuan berasal dari banyak pribadi, maka yang akan dihasilkan dari pengetahuan tersebut akan beragam pula, karena kata sepakat tidak akan dicapai oleh pribadi-pribadi tersebut. Tuhan yang mengumpulkan kumpulan informasi pengetahuan manusia, untuk menghasilkan konsep pengatahuan yang sama maka Tuhan juga harus satu, untuk menghasilkan informasi yang satu pula agar dapat dipahami secara satu pula. Kenyataan yang kita dapati dilingkungan membuktikan adanya pengetahuan manusia yang satu ini, maka dapat dipastikan bahwa Tuhan dalam perspektif Berkeley adalah satu. Berkeley menggambarkan suatu relasi hubungan universal ini dengan suatu hubungan kewarganegaraan. Menurut Berkeley, suatu negara akan terbentuk dengan adanya kesamaan ide, perasaan, dan emosional sekelompok manusia yang berkumpul untuk menciptakan identitas yang sama. Identitas tersebut tidak akan ada tanpa adanya suatu kesepakatan diantara mereka, maka untuk terbentuknya suatu negara yang berdaulat harus ada suatu kesepakatan yang abstrak di antara mereka untuk menjadikan mereka sebagai warga suatu negara.
Kelemahan pendapat Berkeley terletak pada pengetahuan Tuhan itu sendiri, jika digambarkan bahwa Tuhan sebagai suatu yang mengumpulkan informasi subjektif manusia, jika hal ini terjadi; apakah Tuhan tidak memiliki pengetahuan sendiri mengenai pengalaman-pengalaman tersebut? Tuhan sebagai suatu zat yang tak-terbatas, ketidak-terbatasan ini membentuk suatu figur perkasa yang maha agung. Ada dua hal yang dapat kita bantahkan dari argumentasi yang diberikan Berkeley ini; yang pertama Tuhan harus memiliki kemampuan ilmu pengetahuan sebelum pengalaman-pengalaman manusia tersebut terkumpul, karena tanpa pengetahuan dasar tersebut maka Tuhan tidak dapat memahami pengetahuan tersebut. Argumentasi ke-dua adalah; mungkinkah Tuhan merasakan sedih, senang, susah, dan sakit? Perasaan-perasaan yang ada tersebut begitu terkait dengan pengalaman-pengalaman jasmani, namun Tuhan tidak berbadan. Tanpa badan, pengalaman yang dipahami tidak akan sama dengan apa yang dirasakan melalui badan, maka Tuhan tidak dapat diasumsikan sebagai suatu figusr yang seperti Berkeley utarakan.

Kesimpulan
Dari awal tulisan telah dijelaskan bahwa di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai orisinalitas argumentasi-argumentasi dasar yang masing-masing diungkapkan tiga filosof barat tersebut mengenai keberadaan dan fungsi Tuhan. Argumentasi yang diusung Spinoza terkait dengan ajaran pantheisme, ajaran ini merupakan suatu ajaran yang menggagas Tuhan sebagai suatu yang satu dan tiada keberadaan kecuali Dia, sebuah gagasan yang serupa dengan ide Wahdat al-Wujud yang diusung Leibniz. Kita ketahui bahwa gagasan Wahdat al-Wujud pertama kali digagas oleh sufi-filosofis klasik Muslim Ibn Arabi, permisalan matahari dan sinarnya merupakan permisalan yang terbaik yang diusung untuk menjelaskan ajaran ini. Mengingat kemunculan Ibn Arabi jauh sebelum kemunculan tiga pemikir ini, maka dapat kita simpulkan bahwa; gagasan yang diusung Leibniz berasal dari Ibn Arabi dan bukan murni darinya. Sedangkan gagasan pantheisme adalah salah satu kesalahan dalam menafsirkan apa yang dimaksud Ibn Arabi dalam gagasan Wahdat al-Wujud, serupa tapi tak sama dan pastinya membawa konsekuensi yang berbda pula. Dalam Wahdat al-Wujud, Tuhan tetap sebagai kausa prima yang memberikan substansi turunan pada ciptaan lainnya. Sedangkan dalam gagasan pantheisme substansi hanya satu yakni Tuhan, namun keberadaan Alam semesta berbarengan dengan kemunculan-Nya, dalam hal ini tidak dapat dibedakan antara Pencipta dan yang dicipta. Gagasan yang diusung Berkeley juga gagasan yang serupa dalam ajaran sufi dalam Islam yang menyatakan; sesungguhnya kemanapun kamu melihat tidak ada yang kau lihat kecuali Aku yang melihat. Ajaran seperti ini sudah lama ada dalam dunia Islam, bahkan sejak pertama kali Al-Qur’an diturunkan ke Bumi.
Mengenai ke-Esaan Tuhan agaknya ke-tiga filosof barat ini sudah membawa pencerahan pemikiran dalam dunia barat. Dengan berfikir secara kritis, mereka telah membuka tefsiran baru mengenai Tuhan dalam dunia barat yang selama berabad-abad dimonopoli gereja hingga banyak nyawa yang telah melayang akibat pemikiran-pemikiran positif lainnya. Galileo Galilei dan Copernicus merupakan beberapa di antara korban gereja atas ortodoksi kemajuan ilmu pengetahuan. Tuhan ada dalam diri setiap manusia, maka segala pentafsiran mengenai Tuhan yang ter-sempurna akan senantiasa memperoleh dukungan manusia. Bentuk pentafsiran Tuhan yang diajukan tiga pemikir tersebut adalah salah satu bentuk kemajuan pemikiran manusia yang tidak lagi didominasi sebuah lembaga konstitusional atas nama Tuhan, yang sesungguhnya merusak citra Tuhan. Maka dapat diatrikan bahwa bagi ke-tiganya Tuhan adalah satu.

REFERENSI
Bunin, Nicholas and Tsui-James, E.P. (editor). The Blackwell Companion to Philosophy. Blackwell Publishing. Oxford. 2003 (2nd Edition).
Kenny, Anthony. A New History of Western Philosophy; the Rise of Modern Philosophy (Volume 3). Clarendon Press. Oxford. 2006.

0 komentar: