Jihad Bertutup Mata?


Pendahuluan
17 Juli 2009 pukul 07.45 pagi Jakarta berduka. Ledakan bom berskala besar terjadi di JW Marriott dan Ritz Carlton hotel. Dalam peristiwa ini setidaknya 9 nyawa melayang dan puluhan lainnya luka-luka. Penyelidikan terus diupayakan hingga saat ini oleh pihak berwajib, hal ini dilakukan tidak lain untuk mengembalikan kedamaian Jakarta seperti biasanya. Titik terang mulai terkuak dan identitas pelaku sudah didapat, bahkan latar belakang sang pelaku telah menjadi konsumen publik melalui media elektronik. Pada akhirnya atribut keagamaan menjadi kambing hitam atas aksi kejahatan yang telah terjadi, katanya pelaku lulusan salah satu pesantren ternama di daerah Solo. Lagi-lagi Islam menjadi kambing hitam bagi tindakan terorisme yang mewarnai daftar kejahatan selama dekade akhir Indonesia. Pantaskah asumsi demikian diberikan? Atas dasar inilah tulisan ini dibuat, saya menilai penilaian-penilaian yang keluar dewasa ini patut dijawab, karena sudah mulai mengancam nilai-nilai rasionalitas dan intuitif manusia sebagai makhluk paling sempurna.

Kebutuhan manusia akan Agama
Butuhkah manusia pada Agama? Pertanyaan inilah yang akan kita gunakan sebagai pedoman pemikiran kemudian. Manusia dalam segala tindakannya tentu memiliki dasar, alasan, serta asumsi yang mendasari perbuatannya. Berbeda dengan hewan yang bertindak hanya berdasarkan insting dorongan pada kebutuhan biologis (lapar, seks, mengantuk, dll), manusia dinilai lebih berdasarkan perasaan dan akal yang dimilikinya. Dengan kedua hal tersebut manusia dikatakan memiliki keutamaan yang lebih dibanding makhluk lainnya, apakah kedua hal ini sudah cukup bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya?Dapatkah seorang Hindu mengenal Brahma, Wisnu, da Shiva beserta nilai-nilai di dalamnya hanya dengan hati dan akal? Mungkinkah seorang Budhis mengenal Mahayana hanya dengan hati dan akal? Bisakah seorang Kristiani Tri-Tunggal dan Cinta hanya dengan hati dan akal? Dapatkah diterima jika seorang Muslim mengetahui babi dan anjing haram dimakan hanya dengan hati dan akal?
Manusia tidak dapat hidup hanya dengan hati dan akalnya, manusia masih tergantung dengan Ideologi sebagai suatu prinsip sebagai bimbingan hidupnya. Seperti sebuah robot, baginyatidak cukup hidup hanya berbekal software dan daya listrik. Manusia sebagai penyusun robot tersebut harus senantiasa melakukan kontrol bagi sang robot, karena bagaimanapun juga sang robot membutuhkan sosok yang akan membenarkan segala kesalahan yang mungkin dilakukannya. Demikian pula dengan manusia yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kontrol yang memberikan batasan-batasan demi terjaganya harmonisasi hidup. Manusia antara satu dengan yang lain memiliki kebutuhan yang berbeda, oleh karena itu dibutuhkan satu batasan universal guna mengatur harmonisasi kebutuhan tiap-tiap individu. Batasan universal inilah yang pada akhirnya kita sebut dengan konstitusi atau agama.
Kompleksitas kemajuan alam pemikiran manusia menjadikan aturan-aturan agama yang pada awalnya begitu sederhana dan universal, berubah menjadi sektarian. Fenomena ini terjadi oleh ulah manusia sendiri khususnya golongan ahli agama (Biksu, Pendeta, Rabbi, Pastor, dan Ulama). Mereka tidak sadar, alih-alih memperjuangkan universalitas agama, malah menjadikan agama sebagai konsumsi individual. Agama yang pada dasarnya begitu agung dan memeluk seluruh umat manusia telah berubah menjadi milik kelompok-kelompok tertentu. Fenomena yang seharusnya kita atasi ini tampaknya sudah menjadi “kesalahan yang benar” dan diikuti semua orang. Aspek-aspek eksternal dari tiap-tiap agama juga telah dinodai dengan selera hati golongan ahli agama ini pula, yang baru-baru ini disikapi sebagai Jihad. Benarkah tindakan bom bunuh diri merupakan makna Jihad yang sesungguhnya?

Jihad di masa Rasulullah SAW

Ajaran Jihad datang dari agama Islam, praktek ini sudah menjadi tradisi yang digemari sejak masa penyebaran Islam oleh Rasulullah Muhammad SAW. Di masa Rasulullah merupakan pemaknaan Jihad yang sebenarnya, tidak ada lagi bantahan mengenainya. Di masa Rasul SAW Jihad diartikan berjuang di Jalan Allah SWT, yang pada saat itu terkait erat dengan dakwah penyebaran Islam. Perang adalah pilihan utama yang diidam-idamkan setiap muslim, karena mati di medan peperangan menjadikan mereka sebagai seorang Syahid dan Surga adalah imbalannya.
Rasul SAW tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk memulai suatu peperangan, jalan perang hanya akan dilakukan ketika ancaman dari kelompok luar yang membahayakan datang pada Islam. Oleh karena itu, Jihad tidak bersifat ekspansi atau invasi, melainkan Jihad bersifat defensif. Ada hal lain yang perlu kita perhatikan, Rasul SAW tidak pernah mengajarkan tata cara dalam berperang. Dengan keterbatasan pedang dan perlengkapan perang, kaum muslim hanya diperintahkan menyerang orang yang melawan Islam. Ketika didapati musuh mengaku kalah, tidak diperbolehkan bagi kita untuk menganiaya mereka kemudian, musuh berhak memperoleh hak kebebasan hidupnya asalkan memenuhi Jizyah bagi yang tidak masuk Islam atau masuk Islam sendiri sebagai tanda kesatuan. Perang juga tidak diperbolehkan untuk menyerang wanita dan anak-anak, serta tidak diperbolehkan merusak tanaman atau perkebunan, hewan ternak, dan juga tempat peribadatan. Jika kita mengasumsikan warga sipil Amerika di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton sebagai musuh Islam, pantaskah tindakan kita menggunakan bom pemusnah masal sebagai senjata? Saya rasa tidak ada alasan dari Islam yang dapat digunakan untuk membenarkannya, terlebih lagi senjata ini juga merenggut nyawa saudara setanah air yang lebih besar kemungkinannya seorang muslim seperti kita.
“Tidak ada paksaan dalam Agama” dan “Bagimu Agamamu, bagiku Agamaku.” Dua ungkapan tersebut datang dari sumber terpercaya Islam sendiri, hadits Rasul SAW dan Al Qur’an sendiri. Inilah alasan utama yang patut kita gunakan untuk menolak alasan Jihad bagi pelaku bom bunuh diri yang kerap terjadi di dekade akhir ini. Rasul SAW tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada orang lain, bahkan terkait masalah Islam yang jelas-jelas suatu ajakan yang baik. Tetapi mengapa kita sebagai muslim harus memaksakan diri untuk membunuh jiwa tak berdosa yang tidak memiliki hubungan dengan urusan atau musuh kita yang sesungguhnya? Sekali lagi saya mengajak bagi saudara-saudara semua untuk merenungkan tindakan kita terlebih dahulu. Pantaskah kita mengklaim kebaikan berada di sisi kita? Bukankah hanya Allah SWT yang mengetahui, manakah yang benar?

Bom bunuh diri; salah siapa?

Tindakan manusia adalah produk ketidak-tahuannya. Setiap manusia akan bertindak menurut ala kadar pengetahuannya saja, dan tidak ada manusia yang mengetahui yang sesungguhnya kecuali Allah SWT. Namun untuk apa kita harus mendahului keinginan Sang Pencipta dalam Taqdir?
Pemahaman yang salah atas agama, justru menjauhkan kita dari Surga. Kita sering mengasumsikan segala suatu tindakan kita tidak lain hanya untuk meraih restu-Nya semata, dengan demikian kita akan memperoleh Surga kelak. Sudah benarkah pemahaman kita akan agama, sehingga kita dengan yakinnya meyakini kita sedang berjihad mengorbankan diri untuk mengakhiri nyawa lainnya? Mengapa kita harus sedemikian butanya, hanya melihat tindakan kita sebagai yang benar? Seharusnya kita menimbang terlebih dahulu segala yang akan kita lakukan, benar dan salah serta segala konsekuensinya. Terlalu mahal nyawa yang kita miliki untuk dikorbankan hanya demi penafsiran yang salah akan Jihad.
Kita harus berhati-hati pada segenap golongan ahli agama ini, yang memberikan anjuran-anjuran bagi kita atas nama agama. Allah SWT menganugerahi akal dan hati bagi bagi manusia tidak hanya satu atau beberapa, melainkan satu hati dan satu akal bagi setiap manusia. Manusia patut menyadari dalam dirinya masing-masing atas bekal yang Allah SWT berikan padanya melainkan untuk digunakan serta ada pertanggung-jawaban atasnya kelak dihadapan-Nya. Untuk apa kita memiliki hati dan akal jika tidak kita gunakan, dan kebaikan hanya kita sandarkan begitu saja dari mulut para Biksu, Pendeta, Rabbi, Pastor, dan Ulama belaka?

Teks-teks suci (Nash) tidak dapat berdiri sendiri

Dalam epistemologi, metode Narasi merupakan metode yang paling lemah di antara metode lainnya. Teks-teks suci keagamaan menggunakan metode narasi dalam derajat kebenaran pengetahuan yang dihasilkannya, oleh karena itu kita membutuhkan metode-metode lainnya untuk menopang kebenarannya. Begitu luasnya kandungan yang terdapat teks-teks suci keagamaan ini sehingga menuntut kita untuk melakukan penafsiran untuk dipahami. Begitu banyaknya akal yang menafsirkan teks-teks suci, namun tetap saja tidak ada yang dapat memperoleh makna yang sesungguhnya karena itu hanya ada di sisi-Nya.
Penafsiran yang diberikan para Biksu, Pendeta, Rabbi, Pastor, dan Ulama bukanlah makna yang sesungguhnya, namun kenapa kita menyikapinya sebagai harga mati? Sekali lagi saya menghimbau kepada saudara sekalian, gunakan kemampuan yang anda miliki. Apakah tidak terketuk pintu hati anda sekalian menghabisi nyawa-nyawa yang tidak berdosa? Penafsiran teks-teks suci yang diberikan oleh para Biksu, Pendeta, Rabbi, Pastor, dan Ulama hanyalah sebagai wacana, mari kita gunakan potensi-potensi kita untuk meyakininya. Ada suatu ungkapan yang menyatakan, “lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan melihat siapa yang berbicara.” Melalui ungkapan ini kita dapat menilai, bahwa kita diberi akal dan hati bukan untuk mengikuti suatu ajaran begitu saja, kita dituntut untuk menggunakan keduanya sebelum melakukan suatu tindakan. Di masa Rasul SAW harga suatu perintah itu mutlak, karena keluar dari seseorang yang terpercaya. Tetapi, pada saat ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena orang yang terpercaya sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita sebagaimana pada masa Rasul SAW.

Jihad adalah keinginan Allah SWT

Allah SWT memerintahkan pada para hambanya untuk berjihad, bukan membunuh. Terkadang sulit bagi kita untuk membedakan pembunuhan dan Jihad, hanya saja nilai yang kita pahami dari keduanya jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Membunuh dapat kita sebut sebagai upaya menghilangkan hak hidup seseorang tanpa adanya alasan moral yang mengharuskan kita untuk melakukannya. Sedangkan Jihad memiliki makna mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Allah SWT menganjurkan Basmallah dalam setiap awal perbuatan yang akan kita lakukan, tentu saja ini memiliki suatu alasan. Kalimat “Bismillah” mengandung makna yang begitu dalam, yakni kita berjanji atas namanya akan melakukan segala tindakan atas nama-Nya, sebagai wakil-Nya, dan kepanjangan tangan dari-Nya di muka bumi ini. Jika demikian yang seharusnya kita kerjakan, tentu kita akan menyadari bahwa segala tindakan yang baik akan berorientasi pada-Nya melalui kalimat tersebut. Tetapi tindakan bom bunuh diri, yang merenggut nyawa orang lain yang tidak jelas kesalahannya, jelas-jelas dapat kita sebut dengan pembunuhan, sama sekali jauh dari makna Jihad yang allah SWT maksud.

Kesimpulan

Manusia hidup di dunia untuk mencari bekal bagi kehidupannya kelak, maka dari itu kita harus mengupayakan tindakan sebaik mungkin untuk meraihnya. Menggunakan potensi yang Allah SWT berikan pada kita dengan sebaik-baiknya merupakan langkah yang apik. Dengan melihat fenomena alam yang terjadi, mempelajarinya melalui kebijakan akal, merujuk pada teks suci yang Allah SWT berikan, serta bertanya pada-Nya melalui hati akan menghantarkan kita pada tujuan wal penciptaan. Tindakan yang terjadi pada Jumat, 17 Juli 2009 bukanlah kesalahan agama, tetapi kesalahan oknum. Kita berharap agar di tanah air tercinta ini tidak akan lagi terjadi peristiwa demikian. Janganlah kita nodai arti suci Jihad yang jelas dengan Jihad bertutup mata (bom bunuh diri) yang tidak memiliki kejelasan sama sekali. Mari kita renungkan hal ini bersama-sama.

REFERENSI

Lings, Martin. Ada apa dengan Sufi? Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2004.
Muthahhari, Murtadha. Falsafah Pergerakan Islam. Amanah Press. Jakarta. 1988.
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Agama. Mizan. Bandung. 1992.